Rabu, 12 Oktober 2016

PINANG SEBAGAI SALAH SATU MEDIA PEMERSATU ORANG PAPUA

Oleh: Wilhelmus Wele
Mahasiswa STFT Fajar Timur-Papua


SIRI-PINANG SEBAGAI MEDIA PEMERSATU
MASYARAKAT DI TANAH PAPUA

              Siri-pinang merupakan warna yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Papua. Hampir semua masyarakat Papua tergila gila dengan buah pinang. Sebuah perspektif yang menarik bagi saya ialah salah satu ungkapan  dari salah satu mama Papua yang menjual siri-pinang di kompleks terminal Ekspo-Waena. Ungkapannya demikian “ Pokoknya orang Papua yang tra makan siri-pinang itu bukan orang Papua”. Selain ungkapan ini, ada juga salah satu ungkapan dari seorang sopir (asal NTT) taksi jalur Ekspo-Abe yang diperkirakan sudah 12 tahun merantau di tanah Papua. Ungkapannya demikian “Pokoknya tidak gaul kalau tinggal di tanaha Papua tetpi tidak tahu makan siri-pinang”.
Buah pinang dikonsumsi oleh semua generasi baik pendatang yang merantau di tanah Papua maupun orang asli Papua. Tak hanya generasi tua tetapi generasi muda dan anak-anak juga mengkonsumsinya. Ungkapan yang menarik dari salah satu anak sekolah SMA ketika saya bertanya “Adik ! enak-kah makan siri-pinang itu?”. Sebuah jawaban yang membingungkan saya namun menarik. Jawabannya demikian “Bentuk buah ya kecil imut itu, seimut jari manisku ini dan berwarna hijau itu, bikin sesuatu deh...!”.
 Dalam kalangan masyarakat Papua, kegemaran makan siri pinang merupakan sebuah budaya turun temurun dan juga sekaligus merupakan bagian dari pengikat solidaritas masyarakat Papua. Kegiatan makan siri-pinang dapat dilakukan dimana saja. Bisa dilakukan di pinggiran jalan saat berjumpa dengan orang-orang yang dikenal maupun orang-orang yang tidak dikenal, bisa dilakukan di pasar, dalam mobil, di terminal dan lain-lain. Sekali pun tidak saling mengenal antara yang satu dengan yang lain, tetapi kalau ada siri pinang pasti dengan sendirinya akan saling mengenal, membangun komunikasi dan relasi yang sangat baik.
Sepintas melihat, siri-pinang juga bukan merupakan barang yang khas dimakan oleh orang Papua saja tetapi setiap orang yang non papua atau mereka yang berwisata ke Papua. Ungkapan yang menarik dari orang-orang yang berwisata ke Papua ialah bahwa kalau belum makan siri pinang selain makan sagu/papeda berarti belum ke papua. Sehingga makan siri pinang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan oleh kehidupan sosial masyarakat Papua, makan siri-pinang merupakan ciri khas budaya masyarakat Papua.
Pada sisi lain, saya menemukan ada juga masyarakat Papua yang tidak makan siri pinang sama sekali, tetapi kalau diajak atau dikasih dari seorang teman, langsung dengan sendirinya mereka akan makan siri-pinang tersebut karena bagi mereka itu merupakan tanda kebersmaan yang harmonis.
Makan siri pinang memang tidak lazim lagi untuk dibicarakan dalam masyarakat Papua dan NTT serta beberapa daerah lainnya. Di daerah NTT, makan siri pinng itu dapat meberikan semangat saat bekerja, menjadi hidangan bagi setiap tamu yang datang ke rumah dan merupakana pelengkap dalam setiap acara-acara resmi seperti upacara adat. Bagi saya sendiri, pertama kali makan siri-pinang saat berada di tanah Papua dan itu pun karena bukan paksaan tetapi saya merasa kalau saya sendiri belum makan pinang seperti teman-teman saya, itu berarti saya bukan berada di tanah Papua.
Cara makan siri-pinag secara singkat:
Mahkota pinang dikupas dengan tangan, kulit dikupas dengan gigi. Usai dikupas, kunya biji pinang hingga hancur dan halus. Pertama akan sangat mengejutkan, ada rasa pahit dan sepat luar biasa yang menyeruak di mulut. Ini mengundag air liur berproduksi terus-menerus dalam jumlah yang banyak, bercampur dengan sari pinang. Langkah selanjutnya adalah mencocolkan batang sirih ke kapur, kemudian digigit dan dikunyah bersama pinang. Hal yang perlu diperhatikan saat menggigit sirih ialah jangan membiarkan kapur menyentuh lidah, karena bisa membuat lidah terbakar. Kunyah terus hingga warna pinang memerah.
Penjelasan singkat mengenai pinang, sirih dan kapur:
Ø  Pinang, berasal dari tanah Malaya, bagi orang Papua bisa diibaratkan seperti kudapan sehari-hari.
Ø  Sirih, merupakan tanaman tropis, tanaman asli yang tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain. Daun dan buahnya biasa dikunyah bersama gambir, pinang, tembakau dan kapur.
Ø  Kapur, diperoleh dari hasil pemrosesan cangkang kerang atau pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya putih bersih tetapi reaksi kimianya bisa menghancurkan.
Mengkonsumsi siri-pinang di tanah Papua, ibarat makan makanan ringan hari-hari seperti permen. Kini saya melihat bahwa siri-pinang benar-benar menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Papua pada umumnya mulai dari masyarakat yang berada di wilayah pesisir hingga masyarakat yang berada di wilayah pegunungan Papua.
Dengan melihat kenyataan bahwa eksistensi siri-pinang dapat mempersatukan semua orang yang berada di tanah Papua, maka saya sebagai orang yang berada di tanah Papua ini dengan berani untuk mengajak semua pace-mace untuk tingkatkan budaya makan siri-pinang di tanah Papua (Myama tane ndekar ngatan).




Rabu, 11 November 2015

ENSIKLIK RERUM NOVARUM


ENSIKLIK
RERUM NOVARUM
(Tugas Teologi Sosial)




KELOMPOK I :
1.     PREFEKTUS P. NGORANUBUN
2.     WILHELMUS WELE







SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI “FAJAR TIMUR”
ABEPURA-JAYAPURA-PAPUA.
2015/2016




PENDAHULUAN
Paus Benediktus XIV pada tahun 1740 merupakan paus pertama yang memakai ensiklik secara modern. Tetapi, baru sejak Pius IX pada abad ke-19 bentuk ensiklik semakin sering dipakai. Pius IX menulis sebuah ensiklik untuk menangggapi masalah tatanan politik ketika dia mengecam liberalisme dan sekularisme serta sosialisme. Jadi Leo XIII bukanlah paus pertama yang memakai bentuk ensiklik atau yang pertama yang menanggapi masalah politik.[1]
Meski demikian, sejarah memberi tempat khusus kepada leo XIII bukan hanya karena ensiklik-ensikliknya dan ajaran-ajarannya tentang masalah sosial, politik dan ekonomi, tetapi juga karena dia menerapkan secara resmi pendekatan Thomas Aquinas dalam teologi dan filsafat katolik. Pada waktu itu tidaklah mengherankan kalau Leo memakai pendekatan Thomistik untuk membahas masalah politik dan ekonomi pada zamannya. Banyak komentator memuji Leo yang menerapkan Thomisme pada teologi dan filsafat katolik, sebab dengan ini ia dimungkinkan bicara dengan efektif kepada dunia modern.[2]
1.    LATAR BELAKANG
Rerum Novarum (keadaan buruh) adalah sebuah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada 15 Mei 1891. Ini adalah sebuah surat terbuka yang diedarkan kepada semua uskup yang membahas kondisi kelas pekerja. Ensiklik ini sebagai ringkasan dari banyak masalah yang ditimbulkan oleh revolusi industri dan masyarakat demokratis modern. Leo memulainya dengan menggambarkan banyak keluhan dari kelas pekerja. Ia menguraikan prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam mengusahakan keadilan dalam kehidupan industri, sosial, dan ekonomi.[3]
Dalam menanggapi masalah yang ditimbulkan oleh revolusi industri, Leo belajar banyak dari pemikir-pemikir katolik yang telah bergulat dengan masalah-masalah tersebut selama beberapa dekade. Dapat diduga, pendekatan katolik tidak hanya mengutuk individualisme yang terkait dengan liberalisme dan enlightenment, tetapi juga alternatif sosialis yang menundukan individu kepada masyarakat. Dilihat dari kacamata jaman sekarang ada tiga pendekatan yang dapat ditengarai. Sebuah pendekatan yang konservatif yang terkait dengan aliran Angers dan seorang Belgia bernama Charles Perin ( 1815-1905). Pendekatan ini menentang segala bentuk intervensi negara, tetapi menekankan kewajiban orang katolik untuk menjalankan cinta kasih menolong buruh yang miskin. Pada ujung yang lain, terdapat korporatisme yang terkait dengan seorang Austria bernama Karl von Vogelsang (1818-1890) dan dengan Fribourg Union, yang mendukung rekonstruksi tatanan sosial dengan cara yang lebih radikal mengikuti garis korporasi. Isi gagasannya sebagai berikut: menghimpun modal, pemilik, dan buruh, serta “konsumen” menjadi kelompok yang bekerja sama bagi kebaikan industri yang ada di bawah kepemimpinan sebuah korposari yang luas, dengan demikian diatasi peisahan modal dan tenaga kerja. Pendekatan yang ketiga yang ada di tengah, terkait dengan dua orang jerman, Wilhelm Emmanuel von Kettler (1811-1877) dan Paul Hitze (1851-1921). Mereka mengajarkan sebuah pendekatan yang lebih reformis yang memperhatikan hak-hak kaum buruh untuk mendirikan organisasi untuk melindungi riri mereka serta mendukung intervensi negara untuk membela buruh dan mereka yang lemah.
Dengan memakai metode dan antropologi Thomistik, dalam ensiklik Rerum Novarum Leo XIII menyerang sosialisme. Dia mengakui hak sah dan kebutuhan partisipasi oleh semua orang dalam hak milik pribadi, mendukung upah yang adil, hak buruh untuk bernegosiasi dan kebutuhan akan intervensi terbatas oleh negara untuk menolong kelompok-kelompok yang ada dalam kesulitan.[4]
II. RERUM NOVARUM
2.1. Rerum Novarum (Leo XIII)
Leo XIII tidak menganjurkan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi. Dia malah menentang ketiga-tiganya. Ia mengecam kebebasan modern dalam ensiklik-ensikliknya, terutama dalam surat dari tahun 1888 yang berjudul Libertas Praestantissimum. Kebebasan untuk beribadah bertentangan dengan “tugas tertinggi dan tersuci” yang mewajibkan orang untuk menyembah Allah yang satu dan benar dan satu agama yang benar yang dapat dikenali dengan mudah melalui tanda-tanda eksternal. Kebebasan berbicara dan pers berarti bahwa tidak lagi ada hal yang suci. Kebenaran akan diliputi oleh kegelapan dan kekeliruan akan berkuasa. Manusia memiliki hak untuk menyebarluaskan kebenaran bukannya penipuan, pendapatan dan kejahatan yang dapat merusak hati dan kehidupan moral. Sungguh aneh jika orang beranggapan bahwa alam semesta berciri indiferen terhadap kebenaran atau kepalsuan, kepada keadilan atau ketidakadilan. Kebebasan untuk bicara dan pers, Leo XIII menunjukan adanya ekses pikiran yang tidak terkendali yang pada akhirnya menimbulkan penindasan terhadap orang-orang yang tak terdidik. Pikiran yang tak terkendali harus dikontrol oleh hukum sebagaimana hukum membatasi kekerasan terhadap orang yang secara fisik lemah. Kebebasan untuk mengajar berarti kebebasan untuk mengajar kebenaran. Tidaka ada hak untuk mengajarkan yang palsu dalam tatanan adikodrati maupum tatanan kodrati. Penguasa publik hanya dapat menolerir apa yang bertentangan kebenaran dan keadilan demi menghindarkan kejahatan yang lebih besar. Kejahatan yang mematikan, yaitu liberalisme, menyangkal otoritas Allah dan kebenaran.
Leo XIII tidak memandang kesetaraan sebagai sebuah nilai bagi individu atau masyarakat. Ia menekankan pentingnya ketidaksetaraan  karena itu adalah fakta alam semesta. Perbedaan dapat dilihat dalam hal kesehatan, keindahan, kepandaian, pemikiran dan keberanian. Ketidaksetaraan kodrati ini dengan sendirinya berarti ketidaksetaraan sosial yang tidak boleh tidak ada jika masyarakat dapat berfungsi dengan baik. Pada tempat lain Leo XIII mengakui kesetaraan fundamental antar manusia dalam hal asal, nilai, dan tujuan, dan ini disertai dengan hak dan kewajiban. Akan tetapi manusia berbeda dalam hal kemampuan, kekuatan pikiran dan tubuh, tingkah laku dan sifat, dan semuanya ini menimbulkan ketidaksetaraan dalam institusi kehidupan sipil. Pada waktu ia menyerang sosialisme dan berusaha untuk membela hak-hak dasar buruh dalam Rerum Novarum, Leo XIII menyatakan bahwa tidak mungkin membawa semua manusia pada tingkatan yang sama karena adanya perbedaan individual diantara manusia. Ketidaksetaraan seperti itu baik bagi individu dan bagi masyarakat.
Searah dengan pandangannya tentang kebebasan dan ketidaksetaraan ini Leo XIII mengajukan pandangan yang sangat hirarkis tentang masyarakat yang tidak disertai dengan partisipasi warga negara biasa dalam menjalankan masyarakat dan pemerintah. Kata yang paling disukainya bagi para penguasa adalah “pangeran”. Warga negara harus tunduk kepada hukum yang berasal dari penuasa, yang harus segaris dengan hukum abadi dan hukum kodrat. Leo XIII mengutip sebuah peribahasa: qualis rex tallis grex (dimana ada raja, di situ ada kawanan). Ia memandang warga negara sebagai kawanan yang bodoh yang harus dipinpin dan dilindungi oleng sang penguasa. Pendekatan Leo XIII terhadap negara berciri paternalistik yang memperlakukan bawahannya sebagai anak-anak yang memerlukan bimbingan dan pengarahan dari ayahya.
Leo XIII mengemukakan sebuah pandangan tentang peranan penting negara pada bidang moral dalm rerum novarum. “karena tujuan masyarakat adalah membuat manusia menjadi lebih baik, kebutuhan umum masyarakat yang harus dipenuhi adalah keutamaan.
Pandangan tentang negara yang brciri otoriter dan paternalistik Leo XIII ini tidak membedakan masyarakat dari negara, sebuah pembedaan yang di kemudian hari menjadi basis untuk kebebasan beragama. Ia mengusulkan sebuah masyarakat-negara yang berciri etis, di dalamnya semua kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan agama dan moral dari semua individu, dipercayakan kepada penguasa. Masyarakat dibangun dari atas ke bawah, dengan penguasa melindungi dan menjaga kawanan yang bodoh dari semua bahaya moral dan fisik sebagai seorang ayah melindungi anaknya. Leo XIII dengan kuat menyerang konsep kedaulatan rakyat yang menyatakan bahwa kehendak rakyat sebagai yang tertinggi dan para penguasa hanyalah wakil untuk menjalankan kehendak rakyat tanpa mengacu kepada Allah. Bagi Leo XIII, semua kekuasaan berasal dari Allah, penguasa mendapat bagian dan ambil bagian dari kekuasaan ini. Ia tidak memerintah untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk kepentingan semua.
Pada abad ke-18 dan abad ke-19, katolisisme Roma dan Leo XIII melawan liberalisme dalam agama, filsafat, dan politik, juga gerakan-gerakan yang berhubungan dengan liberalisme-reformasi protestan, filsafat enlightenment, dan demokrasi seperti tampak dalam refolusi Prancis. Semua ini mempunyai kelemahan fatal karena mengagung-agungkan kebebasan dan akal budi individu atau rakyaat secara keseluruhan, tanpa adanya pengakuan akan Allah dan hukum Allah yang direpresentasikan dan dipengentarai oleh gereja di bidang rohani dan oleh penguasa di bidang duniawi- itu perlu bagi perkembangan eksistensi manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Sebuah kutipan dari Immortale Dei, ensiklik Leo XIII tahun 1885, dengan jelas mengungkapkan perpektif ini:
Adapun gairah yang berbahaya dan pantas disesalkan akan pembaruan yang muncul pada abad ke-16, mula-mula menjerumuskan agama kristen kepada kebinngungan, dan kemudian melangkah masuk wilayah filsafat,lalu dari sini merambat ke semua kelas masyarakat. Dari sumber ini, bagaikan sebuah air mancur, mengalir deras semua panndangan tentang kebebasan yang liar. Di tengah-tengah gemuruh kekacuan yang menakutkan pada abad yang lampau, kebebasan ini dengan seenaknya dirumuskan dan dengan luas diumumkan sebagai prinsip dan dasar bagi pemahaman baru tentang hukum yang tidak hanya tak diknal pada jaman sebelumnya, juga dalam banyak hal bertentangan tidak hanya dengan hukum kristen, bahkan juga dengan hukum kodrat. Dari prinsip-prinsip ini, yang paling utama menyatakan bahwa semua manusia itu setara menurut hukum dan kodratnya sehingga semuanya setara dalam mengendalikan hidup mereka, bahwa settiap orang adalah tuan dari dirinya sendiri dan sama sekali tidak di bawah kuasa individu lain, bahwa setiap orang bebas untuk berpkir tenang segala sesuatu sesuai dengan pilihannya serta melakukan apa saja yang ia suka. Juga dikatakan bahwa pemerintah tidak lebih dan tidak kurang dari pada kehendak rakyat, yang hanya diperintah oleh dirinya sendiri, adalah penguasa tunggalnya.
Dala arti tertentu, masalah yang ditimbulkan oleh refolusi industri berasal dari sumber yang sama, yaitu liberalisme kebablasan yang menekankan kebebasan dan hak individu. Para kapitalis atau pemilik modal bebas untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Leo XIII mewakili pendekatan katolik pada zaman itu, dan sangat masuk akal bahwa dia menentang liberalisme ekonomi seperti halnya katolik roma menentang kebebasan beragama, liberalisme filosofis, dan liberalisme politik. Allah dan hukum Allah memberi batas pada apa yang dapat dan harus dilakukan oleh para kapitalis dan pemilik modal.
Kendati demikian, Rerum Nofarum melihat filsafat palsu lainnya yang muncul ke permukaan: sosialisme. Oleh karenanya, Rerum Novarum mempunyai nada lain dibandingkan dengan ensiklik-ensiklik Leo tentang tatanan politik. Ensiklik ini mulai dengan sebuah usulan yang berciri sosialis untuk menangani masalah yang ditimbulkan oleh revolusi industri. Kaum sosialis berpendapat bahwa harta milik harus menjadi milik umum, dan dikelola oleh negara atau kantor kota. Jadi harta milik individu yang merupakan hak mereka akan diambil dan negara diberi peran yang besar (n.1-3). Rerum Novarum membela hak-hak dasar individu dan keluarga serta menempatkannya pada tingkat yang lebih tinggi di atas negara (n.28-29). Ensiklik itu menguraikan berbagai hak buruh: hak akan upah yang adil, tempat kerja yang layak, jam kerja yang terbatas, istirahat dan terutama hak untuk mendirikan perserikatan demi kepentingan mereka (29-41)
Leo XIII mempertahankan martabat dan hak dasariah individu, sebuah pendirian yang mirip dengan liberalisme. Jadi, Rerum Novarum menetapkan parameter  bagi ajaran sosial katolik yang dikembangkan pada abad-abad yang mendatang. Ajarana sosial katolik melawan liberalisme yang mendewakan akal budi, kebebasan, dan hati nurani individu- tetapi ia juga menentang sosialisme yang memberi peran besar kepada negara dan tidak mengakui martabat dan hak dasariah individu. Memasuki abad ke-20, sosialisme dan komunis dipandang sebagai ancaman utama sehingga ajaran sosial katolik semakin menekankan martabat, kebebasan dan kesetaraan dan hak individu.[5]
2.2. Kondisi Pekerjaan Gereja
Dalam Ensiklik Rerum Novarum, Paus Leo VIII mengkaji situasi rakyat dan para buruh miskin di negera-negara industri. Beliau menyatakakan beberapa prinsip penting yang harus membimbing jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan orang itu. Kemudian Leo VIII memaparkan peranan Gereja, para buruh dan para majikan; peranan hukum dan pemerintah dalam kerja sama membangun masyarakat yang adil. Para majikan diberi peranan utama sebagai pelaku perubahan.
Pemerasan hebat dan kemiskinan yang luar biasa dialami para buruh di Eropa dan di Amerika Utara pada akhir abad ke-19 mendesak Paus Leo VIII menulis Ensiklik Rerum Novarum. Dokumen ini diilhami oleh kegiatan yang dilakukan Serikat Fribourg (Fribourg Union), sebuah gerakan AKSI sosial Katolik di Jerman dan atas permintaan-permintaan dari hirarki di Inggris, Irlandia dan Amerika Serikat.[6]
Ø  Situasi Rakyat Miskin dan Para Buruh:
  1. Kemiskinan yang begitu meluas dan kekayaan yang terpusat pada beberapa orang saja
  2. Kemerosotan moralitas umum.
  3. Para buruh diperas oleh majikan-majikan yang tamak.
  4. Pemerintah tidak melindungi hak-hak orang miskin.
Ø  Prinsip-Prinsip Penuntun
1.         Segalanya telah diciptakan oleh Allah, mengarah maju pada Allah dan ditebus oleh Allah. Rahmat Ilahi dan kekayaan alam menjadi milik semua secara merata.
2.         Memang masing-masing orang tidak memiliki bakat yang sama, tetapi Allah menganugerahkan martabat yang sama kepada semua orang.
3.         Kemampuan untuk berpikir merupakan bagian dari kodrat manusia; manusia mengatur dirinya dengan akal budi.
4.         Kesejahteraan umum merupakan tujuan negara; semua warga memiliki hak berpartisipasi dalam kehidupan negara.
5.         Martabat manusia yang sejati terletak pada hidup moral yang baik masyarakat yang berkeutamaan akan memperoleh kebahagiaan kekal.
6.         Hukum hanya ditaati sejauh hukum itu sesuai dengan penalaran yang benar dan hukum Allah yang kekal (Part. 72)
7.         Kekayaan nasional berasal dari kerja keras para buruh.
8.         Semua orang mempunyai hak untuk memiliki kekayaan pribadi (Paus Leo VIII mengkritik sosialisme bahwa inti ajarannya sendiri sudah tidak benar karena memperkosa hak itu); milik pribadi harus melayani kesejahteraan umum.
9.         Manusia memiliki hak atas hasil pekerjaan mereka, tetapi hasil itu harus dipergunakan demi semua.
10.     Kerja merupakan keharusan dan akan ada kesulitan dan penderitaan dalam hidup.
11.     Kekayaan merupakan halangan untuk kehidupan kekal.
12.     Hak milik yang benar berbeda dengan penggunaan kekayaan secara benar.
Ø  Peranan Gereja.
1.    Gereja mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya karena masalah-masalah ini mempengaruhi agama dan moralitas.
2.    Dengan menggunakan prinsip-prinsip injili, Gereja dapat membantu memperdamaikan dan menyatukan pertentangan antar kelas.
3.    Tujuan yang mau dicapai Gereja adalah memperdamaikan dan menyatukan kelas-kelas yang saling bertentangan.
4.    Gereja dapat mendidik masyarakat untuk bertindak secara adil.
Ø  Hak dan Kewajiban Para Buruh (rakyat miskin), dan majikan (orang kaya) dalam Masyarakat.
1.    Para buruh/rakyat miskin. Hak-hak : mempunyai hak milik, pribadi orang miskin harus dijamin kehidupannya, mendapat hasil dari pekerjaan yang mereka lakukan, mempunyai hak atas jaminan kesejahteraan keluarga, kebebasan bertindak, hak mendapat pekerjaan, upah yang adil (yang cukup untuk menghidupi keluarga), hak untuk bergabung dalam serikat buruh (yang menjaga nilai-nilai religius). Kewajiban-kewajiban : bekerja dengan baik, tidak membahayakan kekayaan majikan, menghindarkan kekerasan dan kekacauan, berhemat.
2.    Majikan-majikan/orang kaya. Hak-hak : milik pribadi, pajak yang tidak menekan, membentuk perkumpulan-perkumpulan swasta. Kewajiban-kewajiban: tidak memperlakukan para buruh sebagai budak, menjaga martabat para buruh, memberi kesempatan kepada para buruh untuk memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan dan keluarganya, tidak memaksa para buruh bekerja melebihi kekuatan mereka, membayar dengan gaji yang adil, tidak merusak tabungan para buruh, memenuhi kebutuhan orang miskin sesudah kebutuhannya sendiri terpenuhi.
2.3.  Pengaruh Ensiklik Rerum Novarum
Ø  Pada Gereja
A.  Ajaran
·           Mendorong Gereja menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus menerus berubah.
·           Memberikan inspirasi pada ilmu sosial kristiani.
·           Diajarkan di seminari-seminari dan universitas-universitas.
·           Banyak imam dan orang Katolik awam menjadi terlibat dalam Ajaran Sosial Gereja
·           Ajaran sosial telah mempengaruhi masyarakat luas di luar Gereja.
B.  Penerapan Praktis
·           Usaha membantu kelas-kelas bawah.
·           Karya-karya karitatif dilipatgandakan.
·           Mempengaruhi pendidikan dan kebudayaan.
·           Menginspirasi lembaga-lembaga untuk saling mendukung satu sama lain.
C.  Modal dan tenaga kerja
·           Negara hanya akan menjadi kaya melalui pekerjaan yang dilakukan warga negaranya.
·           Modal dan tenaga kerja saling membutuhkan.
·           Dalam sejarah, modal menguasai seluruh produksi dan keuntungan yang diperoleh,  dan menyisahkan balas jasa yang amat minim kepada tenaga kerja.
·           Tuntutan tenaga buruh yang tidak adil: semua produksi dan keuntungan jadi milik kaum buruh.
·           Menganjurkan pembagian kekayaan secara adil demi kesejahteraan umum.
D.  Meningkatkan kehidupan buruh
·           Meningkatkan kehidupan para buruh merupakan tujuan utama
·           Keadaan para buruh di Negara-Negara Barat sudah bertambah baik.
·           Tetapi di belahan dunia lain situasinya semakin buruk.
·           Kondisi para buruh di pedesaan sangat terbelakang.
·           Kaum buruh harus dapat mencukupi kebutuhan mereka dari hasil-hasil kerja mereka.
·           Upah yang adil harus diberikan agar kaum buruh memiliki pemilikan secara wajar.
·           Pengupahan dengan sistim perjanjian upah tidak dengan sendirinya adil.
·           Perjanjian upah harus disesuaikan dengan sistim kontrak kerja sama.
·           Keadilan sosial menuntut adanya upah yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga para buruh.
·           Wanita dan anak-anak agar jangan disalahgunakan dalam dunia kerja.
·           Pemerintah dapat membantu terjaminnya pengupahan yang adil.
·           Kesempatan kerja harus disediakan bagi mereka yang bersedia bekerja.
E.   Memperbaiki tatanan sosial
·           Hal ini terutama menjadi tanggung jawab negara.
·           Prinsip subsidiaritas negara: aktifitas yang dapat dilaksanakan instansi lebih bawah tetap dilaksanakan oleh instansi-instansi itu.
·           Tugas utama negara adalah mencegah adanya konflik dan mengusahakan keselarasan hubungan antara kelas dalam masyarakat.
·           Pentingnya kelompok-kelompok kerja dan profesi : usaha bersama menciptakan kesejahteraan umum.
·           Pengaturan masalah-masalah ekonomi tidak bisa diserahkan kepada usaha-usaha bebas.
·           Keunggulan ekonomi telah menggantikan persaingan bebas.
·           Lembaga-lembaga perekonomian harus diresapi semangat keadilan.
PENUTUP
Dalam pengantar Ensikliknya, Paus Leo XIII menyoroti suatu gradasi hubungan antara majikan dan pekerja yang diakibatkan oleh hasrat manusia mengejar perubahan-perubahan revolusioner dalam bidang industry. Akibatnya, harta kekayaan dimonopoli oleh segelintir orang sedangkan kebanyakan orang tetap meringkuk dalam kemelaratan.
Kaum pekerja semakin sadar akan harga dirinya dan semakin erat bersatu. Sedangkan para pemilik modal mau mencari untung. Terjadilah bentrokan kepentingan yang dahsyat.
Pada zamannya, masalah ini amat menyiksa semangat dan perhatian manusia daripada masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, amat diperlukan kesungguhan hati dan perhatian penuh para sarjana, kewaspadaan kaum arif bijaksana, perundingan sidang-sidang perwakilan rakyat, penilitian para pemberi UU serta pertimbangan para penguasa.
Maka demi kesejahteraan Gereja dan keselamatan umum manusia, perlulah dibahas soal “ nasib kaum pekerja”. Ini merupakan beban dan kewajiban hierarki Gereja atas jabatan kerasulan yang diemban supaya dalam ensiklik ini akhirnya memberikan asas-asas bagi suatu pemecahan yang bersungguh-sungguh serta layak.
Akan tetapi masalah ini sulit dipecahkan dan tak luput dari bahaya. Bagaimana menetapkan secara saksama dan tepat hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengatur hubungan antara golongan kaya dan golongan miskin, antara majikan dan kaum pekerja. Selain itu ada pihak lain yang penuh dengan tipu muslihat untuk merekayasa arti persoalan yang sedang terjadi dan menarik keuntungan darinya dengan mengobarkan pergolakan dan menghasut rakyat banyak.
Leo XIII berkeyakinan bahwa sesegera mungkin diambil tindakan yang tepat dan menguntungkan golongan-golongan rendahan, yang tak selayaknya tertindas dalam nasib hidup yang malang dan celaka.
Lembaga-lembaga perlindungan masa lalu telah bubar seiring berjalannya waktu. Sedangkan tidak ada lembaga-lembaga baru yang dibentuk untuk menggantikannya. Hilanglah asas dan nilai keagamaan. Pekerja-pekerja menjadi korban dari kepentingan majikan yang tak berperikemanusiaan, tamak, rakus, serakah. Ditambah lagi dengan pemusatan industri dan perdagangan ditangan segelintir orang kaya raya dan berkuasa yang membebankan suatu tanggungjawab yang mirip dengan perbudakan kepada buruh-buruh.
PEMECAHAN YANG SALAH: SOSIALISME
Untuk mengatasi masalah itu, kaum sosialis mengobarkan rasa benci dan dengki kaum miskin terhadap kaum pemilik dengan dalil bahwa segala milik pribadi harus dihapuskan, barang-barang semuanya harus dijadikan milik bersama, langsung dibawah kekuasaan pembesar-pembesar umum atau Negara. Kaum sosialis berprasangka bahwa inilah solusi dari masalh tersebut.
Akan tetapi penerapan teori itu seperti jauh dari dapat mengakhiri masalah itu dan sebaliknya malah merugikan kaum pekerja. Teori itu sungguh-sungguh tak adil, sebab memperkosa hak-hak kaum pemilik, memalsukan tugas-tugas Negara dan merobohkan seluruh bangunan masyarakat.
1.    Pemecahan sosialisme merugikan kaum buruh

Pada hakekatnya, seseorang bekerja untuk memperoleh suatu barang sebagai miliknya. Ia bekerja pada orang lain dengan maksud supaya dapat memperoleh apa yang dibutuhkannya demi kelangsungan hidupnya. Dari pekerjaannya, ia mengharapkan hak yang tepat dan tidak dapat disangkal bukan hanya upah yang cukup, melainkan kebebasannya untuk menggunakan hasil pekerjaannya menurut kehendak hatinya. Misalkan ia menabung sedikit uang dari gaji yang diperoleh untuk membeli sebidang tanah. Maka, tanah itu akan menjadi milik si pekerja tadi. Jelaslah bahwa hak atas barang-barang, yang bergerkar dan tak bergerak justru terletak didalam penetapan secara bebas itu.
Pemecahan masalah yang dipelopori oleh kaum sosialis, yang menukar milik pribadi dengan milik bersama, tidak akan menghasilkan sesuatu yang lain kecuali mengakibatkan keadaan kaum pekerja makin tak menentu. Maka perbaikan nasib tersendat, terlantar.

2.    Pemecahan sosialisme itu tidak adil

Solusi kaum sosialis itu tidak berperikeadilan, karena pemilikan pribadi adalah hak yang dianugerahkan kepada manusia oleh kodratnya.
Kodrat manusia berbeda dari kodrat hewan. Hewan diperintah oleh dua naluri kodrati. Pertama, mendorong hewan-hewan untuk memelihara hidupnya dan membela dirinya. Kedua, untuk kelanjutan jenisnya (seks).
Manusia memiliki kemampuan-kemampuan hewani yang sempurna, tetapi tunduk kepada manusia itu sendiri; lain halnya dengan hewan. Yang membuat manusia mulia dan berbeda dengan hewan adalah roh atau akal budi, manusia bisa menguasai segala tindakannya.
Manusia janganlah menggantungkan dirinya pada penyelenggaraan Negara, sebab manusia itu lebih tua dari Negara. Sebelum Negara dapat dibentuk, manusia dari kodratnya telah memperoleh hak atas hidupnya dan atas perlindungan hidupnya.
Hak milik pribadi tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah telah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk menikmati dan memakai bumi serta isinya secara bebas-bertanggungjawab. Kebijaksanaan manusia dan lembaga-lembaga Negara amat berperan di dalamnya.
Setiap manusia mempunyai hak atas bumi ini, ia tetap diabdikan untuk kesejahteraan bersama, semua hidup dari hasil-hasil bumi. Mereka yang tidak memilikinya, tetap bekerja entah di dalam perusahaan sendiri, entah dengan jabatan apapun.
Milik pribadi itu selaras dengan kodrat manusia. Bumi menghasilkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang berlimpah demi keperluan manusia dalam pemeliharaan hidupnya dan terlebih untuk penyempurnaan hidupnya. Namun manusia perlu mengolah dan mengurusnya.
Alam adalah bagian yang hakiki dari diri manusia. Dalam arti tertentu ia menerakan meterai pribadinya, sehingga barang tertentu menjadi miliknya dan tidak boleh seorangpun memperkosa haknya itu dengan cara apapun juga.
Paham sosialisme mengakui hak individu untuk menggunakan tanah dan penghasilan-penghasilan ladang. Namun mereka tidak mengakui haknya sebagai pemilik atas bidang tanah tempat ia membangun dan yang diolahnya sendiri itu. Oleh sebab itu, sangat adil bahwa hasil pekerjaan adalah milik pekerjanya.
UU Negara yang adil, punya kekuatan mengikat manuisa dari hokum kodrat dan menguatkan hak yang sama serta melindungi manusia. UU Ilahi juga berbicara tentang hak, malahan dengan sangat keras melarang keinginan akan milik orang lain: ”Jangan ingin . . . “ (Ul 5 : 21)
Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa tiap orangbebas dalam memilih jalan hidupnya, kawin atau selibat. Tak ada UU manusia dengan cara apapun juga boleh melarang hak kodrati dan paling utama dari manusia untuk kawin, ataupun membatasi tujuan pokok yang telah ditetapkan Allah sejak semula: “Bertumbulah dan berkembangbiaklah” (Kej 1: 28)
Hak milik pribadi, di dalam rumahtangga, memperoleh kekuatan lebih besar sebab pribadi manusia mendapat kebebasan yang besar pula.
Seorang kepala rumahtangga – karena beban kodrat – punya kewajiban suci untuk memelihara harata warisan kepada anak-anaknya kelak. Anak-anak adalah sesuatu dari ayahnya. Dalam arti tertentu mereka adalah lanjutan pribadi sang ayah itu.
Kaum sosialis itu bertindak melawan perikeadilan yang kodrati dan merombak ikatan kehidupan keluarga, manakala mereka menggantikan pemeliharaan kebapaan dengan pemeliharaan Negara.

3.    Akibat buruk dari ketidakadilan

Kekacauan dan kekalutan luar biasa akan melandasi semua golongan. Akan menyusul perbudakan yang kejam dan memuakkan bagi warga masyarakat. Impian tentang keadilan berubah menjadi kenyataan hidup sama-sama melarat dan kemerosotan bagi semua orang. Ajaran sosialisme justru merugikan mereka yang hendak ditolong; mengingkari hak-hak perorangan; mengacaukan pemerintahan ; mengganggu perdamaian. Jadi, harta milik perorangan tidak boleh diganggu gugat.
Menangani masalah ini, Paus Leo XIII mengatakan bahwa “hanya agamalah yang mmampu mencabut kejahatan sampai akar-akarnya, semua orang hendaknya diyakinkan, bahwa pertama-tama mereka harus membaharui tata-susila Kristiani.”
















DAFTAR PUSTAKA
CURRAN Charles E. Buruh, petani, dan perang nuklir. Yogyakarta: Kanisius, 2007.









      [1] Charles E. Curran, Buruh, petani, dan perang nuklir (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 23.
      [2] Ibid
      [3]  Rerum_Novarum (Online),( https://id.wikipedia.org/wiki/Rerum_Novarum), diakses 10 Sep. 2015

      [4] Charles E. Curran, Op. Cit, hal. 24-25
      [5] Charles E. Curran, Ibid, hal. 104-110
      [6] Keadilan-Bagi-Kaum-Buruh dan Majikan (Online), (http://redosimonkabngada.blogspot.com/2010/11/keadilan-bagi-kaum-buruh-dan-majikan), diakses 10 Sep. 2015.