Willy Wele
Senin, 14 Agustus 2017
Rabu, 12 Oktober 2016
PINANG SEBAGAI SALAH SATU MEDIA PEMERSATU ORANG PAPUA
Oleh: Wilhelmus Wele
Mahasiswa STFT Fajar Timur-Papua
SIRI-PINANG
SEBAGAI MEDIA PEMERSATU
MASYARAKAT
DI TANAH PAPUA
Siri-pinang merupakan warna yang
istimewa dalam kehidupan masyarakat Papua. Hampir semua masyarakat Papua
tergila gila dengan buah pinang. Sebuah perspektif yang menarik bagi saya ialah
salah satu ungkapan dari salah satu mama
Papua yang menjual siri-pinang di kompleks terminal Ekspo-Waena. Ungkapannya
demikian “ Pokoknya orang Papua yang tra makan siri-pinang itu bukan orang
Papua”. Selain ungkapan ini, ada juga salah satu ungkapan dari seorang sopir
(asal NTT) taksi jalur Ekspo-Abe yang diperkirakan sudah 12 tahun merantau di
tanah Papua. Ungkapannya demikian “Pokoknya tidak gaul kalau tinggal di tanaha
Papua tetpi tidak tahu makan siri-pinang”.
Buah pinang dikonsumsi oleh semua generasi baik
pendatang yang merantau di tanah Papua maupun orang asli Papua. Tak hanya
generasi tua tetapi generasi muda dan anak-anak juga mengkonsumsinya. Ungkapan
yang menarik dari salah satu anak sekolah SMA ketika saya bertanya “Adik ! enak-kah makan siri-pinang itu?”.
Sebuah jawaban yang membingungkan saya namun menarik. Jawabannya demikian “Bentuk buah ya kecil imut itu, seimut jari
manisku ini dan berwarna hijau itu, bikin sesuatu deh...!”.
Dalam kalangan masyarakat Papua, kegemaran
makan siri pinang merupakan sebuah budaya turun temurun dan juga sekaligus
merupakan bagian dari pengikat solidaritas masyarakat Papua. Kegiatan makan
siri-pinang dapat dilakukan dimana saja. Bisa dilakukan di pinggiran jalan saat
berjumpa dengan orang-orang yang dikenal maupun orang-orang yang tidak dikenal,
bisa dilakukan di pasar, dalam mobil, di terminal dan lain-lain. Sekali pun
tidak saling mengenal antara yang satu dengan yang lain, tetapi kalau ada siri
pinang pasti dengan sendirinya akan saling mengenal, membangun komunikasi dan
relasi yang sangat baik.
Sepintas
melihat, siri-pinang juga bukan merupakan barang yang khas dimakan oleh orang
Papua saja tetapi setiap orang yang non papua atau mereka yang berwisata ke Papua.
Ungkapan yang menarik dari orang-orang yang berwisata ke Papua ialah bahwa
kalau belum makan siri pinang selain makan sagu/papeda berarti belum ke papua.
Sehingga makan siri pinang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan oleh
kehidupan sosial masyarakat Papua, makan siri-pinang merupakan ciri khas budaya
masyarakat Papua.
Pada
sisi lain, saya menemukan ada juga masyarakat Papua yang tidak makan siri
pinang sama sekali, tetapi kalau diajak atau dikasih dari seorang teman,
langsung dengan sendirinya mereka akan makan siri-pinang tersebut karena bagi
mereka itu merupakan tanda kebersmaan yang harmonis.
Makan
siri pinang memang tidak lazim lagi untuk dibicarakan dalam masyarakat Papua
dan NTT serta beberapa daerah lainnya. Di daerah NTT, makan siri pinng itu
dapat meberikan semangat saat bekerja, menjadi hidangan bagi setiap tamu yang
datang ke rumah dan merupakana pelengkap dalam setiap acara-acara resmi seperti
upacara adat. Bagi saya sendiri, pertama kali makan siri-pinang saat berada di
tanah Papua dan itu pun karena bukan paksaan tetapi saya merasa kalau saya
sendiri belum makan pinang seperti teman-teman saya, itu berarti saya bukan
berada di tanah Papua.
Cara makan siri-pinag secara
singkat:
Mahkota
pinang dikupas dengan tangan, kulit dikupas dengan gigi. Usai dikupas, kunya
biji pinang hingga hancur dan halus. Pertama akan sangat mengejutkan, ada rasa
pahit dan sepat luar biasa yang menyeruak di mulut. Ini mengundag air liur
berproduksi terus-menerus dalam jumlah yang banyak, bercampur dengan sari
pinang. Langkah selanjutnya adalah mencocolkan batang sirih ke kapur, kemudian
digigit dan dikunyah bersama pinang. Hal yang perlu diperhatikan saat menggigit
sirih ialah jangan membiarkan kapur menyentuh lidah, karena bisa membuat lidah
terbakar. Kunyah terus hingga warna pinang memerah.
Penjelasan singkat mengenai pinang,
sirih dan kapur:
Ø Pinang,
berasal dari tanah Malaya, bagi orang Papua bisa diibaratkan seperti kudapan
sehari-hari.
Ø Sirih,
merupakan tanaman tropis, tanaman asli yang tumbuh merambat atau bersandar pada
batang pohon lain. Daun dan buahnya biasa dikunyah bersama gambir, pinang,
tembakau dan kapur.
Ø Kapur,
diperoleh dari hasil pemrosesan cangkang kerang atau pembakaran batu kapur.
Secara fisik, warnanya putih bersih tetapi reaksi kimianya bisa menghancurkan.
Mengkonsumsi
siri-pinang di tanah Papua, ibarat makan makanan ringan hari-hari seperti
permen. Kini saya melihat bahwa siri-pinang benar-benar menjadi bagian dalam
kehidupan masyarakat Papua pada umumnya mulai dari masyarakat yang berada di
wilayah pesisir hingga masyarakat yang berada di wilayah pegunungan Papua.
Dengan
melihat kenyataan bahwa eksistensi siri-pinang dapat mempersatukan semua orang
yang berada di tanah Papua, maka saya sebagai orang yang berada di tanah Papua
ini dengan berani untuk mengajak semua pace-mace untuk tingkatkan budaya makan
siri-pinang di tanah Papua (Myama tane
ndekar ngatan).
Rabu, 11 November 2015
ENSIKLIK RERUM NOVARUM
ENSIKLIK
RERUM
NOVARUM
(Tugas
Teologi Sosial)
KELOMPOK I :
1.
PREFEKTUS P. NGORANUBUN
2.
WILHELMUS WELE
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI “FAJAR TIMUR”
ABEPURA-JAYAPURA-PAPUA.
2015/2016
PENDAHULUAN
Paus Benediktus XIV pada tahun 1740 merupakan paus
pertama yang memakai ensiklik secara modern. Tetapi, baru sejak Pius IX pada
abad ke-19 bentuk ensiklik semakin sering dipakai. Pius IX menulis sebuah
ensiklik untuk menangggapi masalah tatanan politik ketika dia mengecam
liberalisme dan sekularisme serta sosialisme. Jadi Leo XIII bukanlah paus pertama
yang memakai bentuk ensiklik atau yang pertama yang menanggapi masalah politik.[1]
Meski demikian, sejarah memberi tempat khusus kepada
leo XIII bukan hanya karena ensiklik-ensikliknya dan ajaran-ajarannya tentang
masalah sosial, politik dan ekonomi, tetapi juga karena dia menerapkan secara
resmi pendekatan Thomas Aquinas dalam teologi dan filsafat katolik. Pada waktu
itu tidaklah mengherankan kalau Leo memakai pendekatan Thomistik untuk membahas
masalah politik dan ekonomi pada zamannya. Banyak komentator memuji Leo yang
menerapkan Thomisme pada teologi dan filsafat katolik, sebab dengan ini ia dimungkinkan
bicara dengan efektif kepada dunia modern.[2]
1. LATAR BELAKANG
Rerum Novarum (keadaan buruh) adalah sebuah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada 15 Mei 1891. Ini adalah sebuah surat terbuka yang diedarkan kepada
semua uskup yang membahas kondisi kelas pekerja. Ensiklik ini
sebagai ringkasan dari banyak masalah yang ditimbulkan oleh revolusi industri dan masyarakat demokratis modern. Leo memulainya dengan menggambarkan banyak keluhan
dari kelas pekerja. Ia menguraikan prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam
mengusahakan keadilan dalam kehidupan industri, sosial, dan ekonomi.[3]
Dalam menanggapi masalah yang
ditimbulkan oleh revolusi industri, Leo belajar banyak dari pemikir-pemikir
katolik yang telah bergulat dengan masalah-masalah tersebut selama beberapa
dekade. Dapat diduga, pendekatan katolik tidak hanya mengutuk individualisme
yang terkait dengan liberalisme dan enlightenment,
tetapi juga alternatif sosialis yang menundukan individu kepada masyarakat.
Dilihat dari kacamata jaman sekarang ada tiga pendekatan yang dapat ditengarai.
Sebuah pendekatan yang konservatif yang terkait dengan aliran Angers dan
seorang Belgia bernama Charles Perin ( 1815-1905). Pendekatan ini menentang
segala bentuk intervensi negara, tetapi menekankan kewajiban orang katolik
untuk menjalankan cinta kasih menolong buruh yang miskin. Pada ujung yang lain,
terdapat korporatisme yang terkait dengan seorang Austria bernama Karl von
Vogelsang (1818-1890) dan dengan Fribourg Union, yang mendukung rekonstruksi
tatanan sosial dengan cara yang lebih radikal mengikuti garis korporasi. Isi
gagasannya sebagai berikut: menghimpun modal, pemilik, dan buruh, serta
“konsumen” menjadi kelompok yang bekerja sama bagi kebaikan industri yang ada
di bawah kepemimpinan sebuah korposari yang luas, dengan demikian diatasi
peisahan modal dan tenaga kerja. Pendekatan yang ketiga yang ada di tengah,
terkait dengan dua orang jerman, Wilhelm Emmanuel von Kettler (1811-1877) dan
Paul Hitze (1851-1921). Mereka mengajarkan sebuah pendekatan yang lebih
reformis yang memperhatikan hak-hak kaum buruh untuk mendirikan organisasi
untuk melindungi riri mereka serta mendukung intervensi negara untuk membela
buruh dan mereka yang lemah.
Dengan memakai metode dan
antropologi Thomistik, dalam ensiklik Rerum
Novarum Leo XIII menyerang sosialisme. Dia mengakui hak sah dan kebutuhan
partisipasi oleh semua orang dalam hak milik pribadi, mendukung upah yang adil,
hak buruh untuk bernegosiasi dan kebutuhan akan intervensi terbatas oleh negara
untuk menolong kelompok-kelompok yang ada dalam kesulitan.[4]
II. RERUM NOVARUM
2.1. Rerum Novarum (Leo XIII)
Leo XIII tidak menganjurkan
kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi. Dia malah menentang ketiga-tiganya. Ia
mengecam kebebasan modern dalam ensiklik-ensikliknya, terutama dalam surat dari
tahun 1888 yang berjudul Libertas Praestantissimum. Kebebasan untuk beribadah
bertentangan dengan “tugas tertinggi dan tersuci” yang mewajibkan orang untuk
menyembah Allah yang satu dan benar dan satu agama yang benar yang dapat
dikenali dengan mudah melalui tanda-tanda eksternal. Kebebasan berbicara dan
pers berarti bahwa tidak lagi ada hal yang suci. Kebenaran akan diliputi oleh
kegelapan dan kekeliruan akan berkuasa. Manusia memiliki hak untuk
menyebarluaskan kebenaran bukannya penipuan, pendapatan dan kejahatan yang
dapat merusak hati dan kehidupan moral. Sungguh aneh jika orang beranggapan
bahwa alam semesta berciri indiferen terhadap kebenaran atau kepalsuan, kepada
keadilan atau ketidakadilan. Kebebasan untuk bicara dan pers, Leo XIII
menunjukan adanya ekses pikiran yang tidak terkendali yang pada akhirnya
menimbulkan penindasan terhadap orang-orang yang tak terdidik. Pikiran yang tak
terkendali harus dikontrol oleh hukum sebagaimana hukum membatasi kekerasan
terhadap orang yang secara fisik lemah. Kebebasan untuk mengajar berarti
kebebasan untuk mengajar kebenaran. Tidaka ada hak untuk mengajarkan yang palsu
dalam tatanan adikodrati maupum tatanan kodrati. Penguasa publik hanya dapat
menolerir apa yang bertentangan kebenaran dan keadilan demi menghindarkan
kejahatan yang lebih besar. Kejahatan yang mematikan, yaitu liberalisme,
menyangkal otoritas Allah dan kebenaran.
Leo XIII tidak memandang kesetaraan
sebagai sebuah nilai bagi individu atau masyarakat. Ia menekankan pentingnya
ketidaksetaraan karena itu adalah fakta
alam semesta. Perbedaan dapat dilihat dalam hal kesehatan, keindahan,
kepandaian, pemikiran dan keberanian. Ketidaksetaraan kodrati ini dengan
sendirinya berarti ketidaksetaraan sosial yang tidak boleh tidak ada jika masyarakat
dapat berfungsi dengan baik. Pada tempat lain Leo XIII mengakui kesetaraan
fundamental antar manusia dalam hal asal, nilai, dan tujuan, dan ini disertai
dengan hak dan kewajiban. Akan tetapi manusia berbeda dalam hal kemampuan,
kekuatan pikiran dan tubuh, tingkah laku dan sifat, dan semuanya ini
menimbulkan ketidaksetaraan dalam institusi kehidupan sipil. Pada waktu ia
menyerang sosialisme dan berusaha untuk membela hak-hak dasar buruh dalam Rerum
Novarum, Leo XIII menyatakan bahwa tidak mungkin membawa semua manusia pada
tingkatan yang sama karena adanya perbedaan individual diantara manusia.
Ketidaksetaraan seperti itu baik bagi individu dan bagi masyarakat.
Searah dengan pandangannya tentang
kebebasan dan ketidaksetaraan ini Leo XIII mengajukan pandangan yang sangat
hirarkis tentang masyarakat yang tidak disertai dengan partisipasi warga negara
biasa dalam menjalankan masyarakat dan pemerintah. Kata yang paling disukainya
bagi para penguasa adalah “pangeran”. Warga negara harus tunduk kepada hukum
yang berasal dari penuasa, yang harus segaris dengan hukum abadi dan hukum
kodrat. Leo XIII mengutip sebuah peribahasa: qualis rex tallis grex (dimana ada
raja, di situ ada kawanan). Ia memandang warga negara sebagai kawanan yang
bodoh yang harus dipinpin dan dilindungi oleng sang penguasa. Pendekatan Leo
XIII terhadap negara berciri paternalistik yang memperlakukan bawahannya
sebagai anak-anak yang memerlukan bimbingan dan pengarahan dari ayahya.
Leo XIII mengemukakan sebuah pandangan
tentang peranan penting negara pada bidang moral dalm rerum novarum. “karena
tujuan masyarakat adalah membuat manusia menjadi lebih baik, kebutuhan umum
masyarakat yang harus dipenuhi adalah keutamaan.
Pandangan tentang negara yang brciri
otoriter dan paternalistik Leo XIII ini tidak membedakan masyarakat dari
negara, sebuah pembedaan yang di kemudian hari menjadi basis untuk kebebasan
beragama. Ia mengusulkan sebuah masyarakat-negara yang berciri etis, di
dalamnya semua kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan agama dan moral
dari semua individu, dipercayakan kepada penguasa. Masyarakat dibangun dari
atas ke bawah, dengan penguasa melindungi dan menjaga kawanan yang bodoh dari
semua bahaya moral dan fisik sebagai seorang ayah melindungi anaknya. Leo XIII
dengan kuat menyerang konsep kedaulatan rakyat yang menyatakan bahwa kehendak
rakyat sebagai yang tertinggi dan para penguasa hanyalah wakil untuk
menjalankan kehendak rakyat tanpa mengacu kepada Allah. Bagi Leo XIII, semua
kekuasaan berasal dari Allah, penguasa mendapat bagian dan ambil bagian dari
kekuasaan ini. Ia tidak memerintah untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk
kepentingan semua.
Pada abad ke-18 dan abad ke-19,
katolisisme Roma dan Leo XIII melawan liberalisme dalam agama, filsafat, dan
politik, juga gerakan-gerakan yang berhubungan dengan liberalisme-reformasi
protestan, filsafat enlightenment, dan demokrasi seperti tampak dalam refolusi
Prancis. Semua ini mempunyai kelemahan fatal karena mengagung-agungkan
kebebasan dan akal budi individu atau rakyaat secara keseluruhan, tanpa adanya
pengakuan akan Allah dan hukum Allah yang direpresentasikan dan dipengentarai
oleh gereja di bidang rohani dan oleh penguasa di bidang duniawi- itu perlu
bagi perkembangan eksistensi manusia sebagai individu maupun sebagai
masyarakat. Sebuah kutipan dari Immortale
Dei, ensiklik Leo XIII tahun 1885, dengan jelas mengungkapkan perpektif
ini:
Adapun gairah yang berbahaya dan
pantas disesalkan akan pembaruan yang muncul pada abad ke-16, mula-mula
menjerumuskan agama kristen kepada kebinngungan, dan kemudian melangkah masuk
wilayah filsafat,lalu dari sini merambat ke semua kelas masyarakat. Dari sumber
ini, bagaikan sebuah air mancur, mengalir deras semua panndangan tentang
kebebasan yang liar. Di tengah-tengah gemuruh kekacuan yang menakutkan pada
abad yang lampau, kebebasan ini dengan seenaknya dirumuskan dan dengan luas
diumumkan sebagai prinsip dan dasar bagi pemahaman baru tentang hukum yang
tidak hanya tak diknal pada jaman sebelumnya, juga dalam banyak hal
bertentangan tidak hanya dengan hukum kristen, bahkan juga dengan hukum kodrat.
Dari prinsip-prinsip ini, yang paling utama menyatakan bahwa semua manusia itu
setara menurut hukum dan kodratnya sehingga semuanya setara dalam mengendalikan
hidup mereka, bahwa settiap orang adalah tuan dari dirinya sendiri dan sama
sekali tidak di bawah kuasa individu lain, bahwa setiap orang bebas untuk
berpkir tenang segala sesuatu sesuai dengan pilihannya serta melakukan apa saja
yang ia suka. Juga dikatakan bahwa pemerintah tidak lebih dan tidak kurang dari
pada kehendak rakyat, yang hanya diperintah oleh dirinya sendiri, adalah
penguasa tunggalnya.
Dala arti tertentu, masalah yang
ditimbulkan oleh refolusi industri berasal dari sumber yang sama, yaitu
liberalisme kebablasan yang menekankan kebebasan dan hak individu. Para
kapitalis atau pemilik modal bebas untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Leo XIII mewakili pendekatan katolik pada zaman itu, dan sangat masuk akal
bahwa dia menentang liberalisme ekonomi seperti halnya katolik roma menentang
kebebasan beragama, liberalisme filosofis, dan liberalisme politik. Allah dan
hukum Allah memberi batas pada apa yang dapat dan harus dilakukan oleh para
kapitalis dan pemilik modal.
Kendati demikian, Rerum Nofarum
melihat filsafat palsu lainnya yang muncul ke permukaan: sosialisme. Oleh
karenanya, Rerum Novarum mempunyai nada lain dibandingkan dengan
ensiklik-ensiklik Leo tentang tatanan politik. Ensiklik ini mulai dengan sebuah
usulan yang berciri sosialis untuk menangani masalah yang ditimbulkan oleh
revolusi industri. Kaum sosialis berpendapat bahwa harta milik harus menjadi
milik umum, dan dikelola oleh negara atau kantor kota. Jadi harta milik
individu yang merupakan hak mereka akan diambil dan negara diberi peran yang
besar (n.1-3). Rerum Novarum membela hak-hak dasar individu dan keluarga serta
menempatkannya pada tingkat yang lebih tinggi di atas negara (n.28-29).
Ensiklik itu menguraikan berbagai hak buruh: hak akan upah yang adil, tempat
kerja yang layak, jam kerja yang terbatas, istirahat dan terutama hak untuk
mendirikan perserikatan demi kepentingan mereka (29-41)
Leo XIII mempertahankan martabat dan
hak dasariah individu, sebuah pendirian yang mirip dengan liberalisme. Jadi,
Rerum Novarum menetapkan parameter bagi
ajaran sosial katolik yang dikembangkan pada abad-abad yang mendatang. Ajarana
sosial katolik melawan liberalisme yang mendewakan akal budi, kebebasan, dan
hati nurani individu- tetapi ia juga menentang sosialisme yang memberi peran
besar kepada negara dan tidak mengakui martabat dan hak dasariah individu.
Memasuki abad ke-20, sosialisme dan komunis dipandang sebagai ancaman utama
sehingga ajaran sosial katolik semakin menekankan martabat, kebebasan dan
kesetaraan dan hak individu.[5]
2.2. Kondisi Pekerjaan Gereja
Dalam Ensiklik Rerum Novarum, Paus Leo VIII mengkaji situasi rakyat
dan para buruh miskin di negera-negara industri. Beliau menyatakakan beberapa
prinsip penting yang harus membimbing jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan
orang itu. Kemudian Leo VIII memaparkan peranan Gereja, para buruh dan para
majikan; peranan
hukum dan pemerintah dalam kerja sama membangun masyarakat yang adil. Para
majikan diberi peranan utama sebagai pelaku perubahan.
Pemerasan hebat dan kemiskinan yang luar biasa dialami para buruh di
Eropa dan di Amerika Utara pada akhir abad ke-19 mendesak Paus Leo VIII menulis
Ensiklik Rerum Novarum. Dokumen ini diilhami oleh kegiatan yang dilakukan
Serikat Fribourg (Fribourg Union), sebuah gerakan AKSI sosial Katolik di Jerman
dan atas permintaan-permintaan dari hirarki di Inggris, Irlandia dan Amerika
Serikat.[6]
Ø
Situasi Rakyat Miskin dan
Para Buruh:
- Kemiskinan yang begitu meluas dan kekayaan yang terpusat pada beberapa orang saja
- Kemerosotan moralitas umum.
- Para buruh diperas oleh majikan-majikan yang tamak.
- Pemerintah tidak melindungi hak-hak orang miskin.
Ø
Prinsip-Prinsip Penuntun
1.
Segalanya telah diciptakan oleh Allah,
mengarah maju pada Allah dan ditebus oleh Allah. Rahmat Ilahi dan kekayaan alam
menjadi milik semua secara merata.
2.
Memang masing-masing orang tidak
memiliki bakat yang sama, tetapi Allah menganugerahkan martabat yang sama
kepada semua orang.
3.
Kemampuan untuk berpikir merupakan
bagian dari kodrat manusia; manusia mengatur dirinya dengan akal budi.
4.
Kesejahteraan umum merupakan tujuan
negara; semua warga memiliki hak berpartisipasi dalam kehidupan negara.
5.
Martabat manusia yang sejati terletak
pada hidup moral yang baik masyarakat yang berkeutamaan akan memperoleh
kebahagiaan kekal.
6.
Hukum hanya ditaati sejauh hukum itu
sesuai dengan penalaran yang benar dan hukum Allah yang kekal (Part. 72)
7.
Kekayaan nasional berasal dari kerja
keras para buruh.
8.
Semua orang mempunyai hak untuk memiliki
kekayaan pribadi (Paus Leo VIII mengkritik sosialisme bahwa inti ajarannya
sendiri sudah tidak benar karena memperkosa hak itu); milik pribadi harus
melayani kesejahteraan umum.
9.
Manusia memiliki hak atas hasil
pekerjaan mereka, tetapi hasil itu harus dipergunakan demi semua.
10. Kerja
merupakan keharusan dan akan ada kesulitan dan penderitaan dalam hidup.
11. Kekayaan
merupakan halangan untuk kehidupan kekal.
12. Hak
milik yang benar berbeda dengan penggunaan kekayaan secara benar.
Ø
Peranan Gereja.
1. Gereja
mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya karena masalah-masalah ini
mempengaruhi agama dan moralitas.
2. Dengan
menggunakan prinsip-prinsip injili, Gereja dapat membantu memperdamaikan dan
menyatukan pertentangan antar kelas.
3. Tujuan
yang mau dicapai Gereja adalah memperdamaikan dan menyatukan kelas-kelas yang
saling bertentangan.
4. Gereja
dapat mendidik masyarakat untuk bertindak secara adil.
Ø
Hak dan Kewajiban Para
Buruh (rakyat miskin), dan majikan (orang kaya) dalam Masyarakat.
1. Para
buruh/rakyat miskin. Hak-hak : mempunyai hak milik, pribadi orang
miskin harus dijamin kehidupannya, mendapat hasil dari pekerjaan yang mereka
lakukan, mempunyai hak atas jaminan kesejahteraan keluarga, kebebasan
bertindak, hak mendapat pekerjaan, upah yang adil (yang cukup untuk menghidupi
keluarga), hak untuk bergabung dalam serikat buruh (yang menjaga nilai-nilai
religius). Kewajiban-kewajiban : bekerja dengan baik, tidak
membahayakan kekayaan majikan, menghindarkan kekerasan dan kekacauan, berhemat.
2. Majikan-majikan/orang
kaya. Hak-hak : milik pribadi, pajak yang tidak menekan, membentuk
perkumpulan-perkumpulan swasta. Kewajiban-kewajiban: tidak
memperlakukan para buruh sebagai budak, menjaga martabat para buruh, memberi kesempatan
kepada para buruh untuk memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan dan keluarganya,
tidak memaksa para buruh bekerja melebihi kekuatan mereka, membayar dengan gaji
yang adil, tidak merusak tabungan para buruh, memenuhi kebutuhan orang miskin
sesudah kebutuhannya sendiri terpenuhi.
2.3.
Pengaruh
Ensiklik Rerum Novarum
Ø Pada Gereja
A. Ajaran
·
Mendorong Gereja menyesuaikan diri
dengan keadaan yang terus menerus berubah.
·
Memberikan inspirasi pada ilmu sosial
kristiani.
·
Diajarkan di seminari-seminari dan universitas-universitas.
·
Banyak imam dan orang Katolik awam
menjadi terlibat dalam Ajaran Sosial Gereja
·
Ajaran sosial telah mempengaruhi
masyarakat luas di luar Gereja.
B. Penerapan
Praktis
·
Usaha membantu kelas-kelas bawah.
·
Karya-karya karitatif dilipatgandakan.
·
Mempengaruhi pendidikan dan kebudayaan.
·
Menginspirasi lembaga-lembaga untuk
saling mendukung satu sama lain.
C. Modal
dan tenaga kerja
·
Negara hanya akan menjadi kaya melalui
pekerjaan yang dilakukan warga negaranya.
·
Modal dan tenaga kerja saling membutuhkan.
·
Dalam sejarah, modal menguasai seluruh
produksi dan keuntungan yang diperoleh, dan menyisahkan balas jasa yang
amat minim kepada tenaga kerja.
·
Tuntutan tenaga buruh yang tidak adil:
semua produksi dan keuntungan jadi milik kaum buruh.
·
Menganjurkan pembagian kekayaan secara
adil demi kesejahteraan umum.
D. Meningkatkan
kehidupan buruh
·
Meningkatkan kehidupan para buruh
merupakan tujuan utama
·
Keadaan para buruh di Negara-Negara
Barat sudah bertambah baik.
·
Tetapi di belahan dunia lain situasinya
semakin buruk.
·
Kondisi para buruh di pedesaan sangat
terbelakang.
·
Kaum buruh harus dapat mencukupi
kebutuhan mereka dari hasil-hasil kerja mereka.
·
Upah yang adil harus diberikan agar kaum
buruh memiliki pemilikan secara wajar.
·
Pengupahan dengan sistim perjanjian upah
tidak dengan sendirinya adil.
·
Perjanjian upah harus disesuaikan dengan
sistim kontrak kerja sama.
·
Keadilan sosial menuntut adanya upah
yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga para buruh.
·
Wanita dan anak-anak agar jangan
disalahgunakan dalam dunia kerja.
·
Pemerintah dapat membantu terjaminnya
pengupahan yang adil.
·
Kesempatan kerja harus disediakan bagi
mereka yang bersedia bekerja.
E. Memperbaiki
tatanan sosial
·
Hal ini terutama menjadi tanggung jawab
negara.
·
Prinsip subsidiaritas negara: aktifitas
yang dapat dilaksanakan instansi lebih bawah tetap dilaksanakan oleh
instansi-instansi itu.
·
Tugas utama negara adalah mencegah
adanya konflik dan mengusahakan keselarasan hubungan antara kelas dalam
masyarakat.
·
Pentingnya kelompok-kelompok kerja dan
profesi : usaha bersama menciptakan kesejahteraan umum.
·
Pengaturan masalah-masalah ekonomi tidak
bisa diserahkan kepada usaha-usaha bebas.
·
Keunggulan ekonomi telah menggantikan
persaingan bebas.
·
Lembaga-lembaga perekonomian harus
diresapi semangat keadilan.
PENUTUP
Dalam pengantar Ensikliknya, Paus
Leo XIII menyoroti suatu gradasi hubungan antara majikan dan pekerja yang
diakibatkan oleh hasrat manusia mengejar perubahan-perubahan revolusioner dalam
bidang industry. Akibatnya, harta kekayaan dimonopoli oleh segelintir orang
sedangkan kebanyakan orang tetap meringkuk dalam kemelaratan.
Kaum pekerja semakin sadar akan
harga dirinya dan semakin erat bersatu. Sedangkan para pemilik modal mau
mencari untung. Terjadilah bentrokan kepentingan yang dahsyat.
Pada zamannya, masalah ini amat
menyiksa semangat dan perhatian manusia daripada masalah-masalah lain. Oleh
sebab itu, amat diperlukan kesungguhan hati dan perhatian penuh para sarjana,
kewaspadaan kaum arif bijaksana, perundingan sidang-sidang perwakilan rakyat,
penilitian para pemberi UU serta pertimbangan para penguasa.
Maka demi kesejahteraan Gereja dan
keselamatan umum manusia, perlulah dibahas soal “ nasib kaum pekerja”. Ini
merupakan beban dan kewajiban hierarki Gereja atas jabatan kerasulan yang
diemban supaya dalam ensiklik ini akhirnya memberikan asas-asas bagi suatu
pemecahan yang bersungguh-sungguh serta layak.
Akan tetapi masalah ini sulit
dipecahkan dan tak luput dari bahaya. Bagaimana menetapkan secara saksama dan
tepat hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengatur hubungan antara golongan
kaya dan golongan miskin, antara majikan dan kaum pekerja. Selain itu ada pihak
lain yang penuh dengan tipu muslihat untuk merekayasa arti persoalan yang
sedang terjadi dan menarik keuntungan darinya dengan mengobarkan pergolakan dan
menghasut rakyat banyak.
Leo XIII berkeyakinan bahwa
sesegera mungkin diambil tindakan yang tepat dan menguntungkan
golongan-golongan rendahan, yang tak selayaknya tertindas dalam nasib hidup
yang malang dan celaka.
Lembaga-lembaga perlindungan masa
lalu telah bubar seiring berjalannya waktu. Sedangkan tidak ada lembaga-lembaga
baru yang dibentuk untuk menggantikannya. Hilanglah asas dan nilai keagamaan.
Pekerja-pekerja menjadi korban dari kepentingan majikan yang tak
berperikemanusiaan, tamak, rakus, serakah. Ditambah lagi dengan pemusatan
industri dan perdagangan ditangan segelintir orang kaya raya dan berkuasa yang
membebankan suatu tanggungjawab yang mirip dengan perbudakan kepada
buruh-buruh.
PEMECAHAN YANG SALAH: SOSIALISME
Untuk mengatasi masalah itu, kaum
sosialis mengobarkan rasa benci dan dengki kaum miskin terhadap kaum pemilik
dengan dalil bahwa segala milik pribadi harus dihapuskan, barang-barang
semuanya harus dijadikan milik bersama, langsung dibawah kekuasaan
pembesar-pembesar umum atau Negara. Kaum sosialis berprasangka bahwa inilah
solusi dari masalh tersebut.
Akan tetapi penerapan teori itu
seperti jauh dari dapat mengakhiri masalah itu dan sebaliknya malah merugikan
kaum pekerja. Teori itu sungguh-sungguh tak adil, sebab memperkosa hak-hak kaum
pemilik, memalsukan tugas-tugas Negara dan merobohkan seluruh bangunan
masyarakat.
1. Pemecahan
sosialisme merugikan kaum buruh
Pada
hakekatnya, seseorang bekerja untuk memperoleh suatu barang sebagai miliknya.
Ia bekerja pada orang lain dengan maksud supaya dapat memperoleh apa yang
dibutuhkannya demi kelangsungan hidupnya. Dari pekerjaannya, ia mengharapkan
hak yang tepat dan tidak dapat disangkal bukan hanya upah yang cukup, melainkan
kebebasannya untuk menggunakan hasil pekerjaannya menurut kehendak hatinya.
Misalkan ia menabung sedikit uang dari gaji yang diperoleh untuk membeli
sebidang tanah. Maka, tanah itu akan menjadi milik si pekerja tadi. Jelaslah
bahwa hak atas barang-barang, yang bergerkar dan tak bergerak justru terletak
didalam penetapan secara bebas itu.
Pemecahan
masalah yang dipelopori oleh kaum sosialis, yang menukar milik pribadi dengan
milik bersama, tidak akan menghasilkan sesuatu yang lain kecuali mengakibatkan
keadaan kaum pekerja makin tak menentu. Maka perbaikan nasib tersendat,
terlantar.
2. Pemecahan
sosialisme itu tidak adil
Solusi
kaum sosialis itu tidak berperikeadilan, karena pemilikan pribadi adalah hak
yang dianugerahkan kepada manusia oleh kodratnya.
Kodrat
manusia berbeda dari kodrat hewan. Hewan diperintah oleh dua naluri kodrati.
Pertama, mendorong hewan-hewan untuk memelihara hidupnya dan membela dirinya.
Kedua, untuk kelanjutan jenisnya (seks).
Manusia
memiliki kemampuan-kemampuan hewani yang sempurna, tetapi tunduk kepada manusia
itu sendiri; lain halnya dengan hewan. Yang membuat manusia mulia dan berbeda
dengan hewan adalah roh atau akal budi, manusia bisa menguasai segala
tindakannya.
Manusia
janganlah menggantungkan dirinya pada penyelenggaraan Negara, sebab manusia itu
lebih tua dari Negara. Sebelum Negara dapat dibentuk, manusia dari kodratnya
telah memperoleh hak atas hidupnya dan atas perlindungan hidupnya.
Hak
milik pribadi tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah telah memberikan
kepercayaan kepada manusia untuk menikmati dan memakai bumi serta isinya secara
bebas-bertanggungjawab. Kebijaksanaan manusia dan lembaga-lembaga Negara amat
berperan di dalamnya.
Setiap
manusia mempunyai hak atas bumi ini, ia tetap diabdikan untuk kesejahteraan
bersama, semua hidup dari hasil-hasil bumi. Mereka yang tidak memilikinya,
tetap bekerja entah di dalam perusahaan sendiri, entah dengan jabatan apapun.
Milik
pribadi itu selaras dengan kodrat manusia. Bumi menghasilkan
kebutuhan-kebutuhan hidup yang berlimpah demi keperluan manusia dalam
pemeliharaan hidupnya dan terlebih untuk penyempurnaan hidupnya. Namun manusia
perlu mengolah dan mengurusnya.
Alam
adalah bagian yang hakiki dari diri manusia. Dalam arti tertentu ia menerakan
meterai pribadinya, sehingga barang tertentu menjadi miliknya dan tidak boleh
seorangpun memperkosa haknya itu dengan cara apapun juga.
Paham
sosialisme mengakui hak individu untuk menggunakan tanah dan
penghasilan-penghasilan ladang. Namun mereka tidak mengakui haknya sebagai
pemilik atas bidang tanah tempat ia membangun dan yang diolahnya sendiri itu.
Oleh sebab itu, sangat adil bahwa hasil pekerjaan adalah milik pekerjanya.
UU
Negara yang adil, punya kekuatan mengikat manuisa dari hokum kodrat dan
menguatkan hak yang sama serta melindungi manusia. UU Ilahi juga berbicara
tentang hak, malahan dengan sangat keras melarang keinginan akan milik orang
lain: ”Jangan ingin . . . “ (Ul 5 : 21)
Tidak
dapat disangsikan lagi, bahwa tiap orangbebas dalam memilih jalan hidupnya,
kawin atau selibat. Tak ada UU manusia dengan cara apapun juga boleh melarang
hak kodrati dan paling utama dari manusia untuk kawin, ataupun membatasi tujuan
pokok yang telah ditetapkan Allah sejak semula: “Bertumbulah dan
berkembangbiaklah” (Kej 1: 28)
Hak
milik pribadi, di dalam rumahtangga, memperoleh kekuatan lebih besar sebab
pribadi manusia mendapat kebebasan yang besar pula.
Seorang
kepala rumahtangga – karena beban kodrat – punya kewajiban suci untuk
memelihara harata warisan kepada anak-anaknya kelak. Anak-anak adalah sesuatu dari ayahnya. Dalam arti tertentu mereka
adalah lanjutan pribadi sang ayah itu.
Kaum
sosialis itu bertindak melawan perikeadilan yang kodrati dan merombak ikatan
kehidupan keluarga, manakala mereka menggantikan pemeliharaan kebapaan dengan
pemeliharaan Negara.
3. Akibat
buruk dari ketidakadilan
Kekacauan
dan kekalutan luar biasa akan melandasi semua golongan. Akan menyusul
perbudakan yang kejam dan memuakkan bagi warga masyarakat. Impian tentang
keadilan berubah menjadi kenyataan hidup sama-sama melarat dan kemerosotan bagi
semua orang. Ajaran sosialisme justru merugikan mereka yang hendak ditolong;
mengingkari hak-hak perorangan; mengacaukan pemerintahan ; mengganggu
perdamaian. Jadi, harta milik perorangan tidak boleh diganggu gugat.
Menangani
masalah ini, Paus Leo XIII mengatakan bahwa “hanya agamalah yang mmampu
mencabut kejahatan sampai akar-akarnya, semua orang hendaknya diyakinkan, bahwa
pertama-tama mereka harus membaharui tata-susila Kristiani.”
DAFTAR
PUSTAKA
CURRAN Charles
E. Buruh, petani, dan perang nuklir. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Rerum_Novarum,
diakses 10 Sep. 2015
http://redosimonkabngada.blogspot.com/2010/11/keadilan-bagi-kaum-buruh-dan-majikan,
diakses 10 Sep. 2015.
[6] Keadilan-Bagi-Kaum-Buruh dan Majikan
(Online), (http://redosimonkabngada.blogspot.com/2010/11/keadilan-bagi-kaum-buruh-dan-majikan),
diakses 10 Sep. 2015.
Langganan:
Postingan (Atom)