Willy_Carmelo Wairklau
Menggali kekayaan Iman Katolik
1. Maria dan Karmel
Sejak semula Bunda Maria mendapat tempat yang istimewa dalam
kehidupan karmel, dalam kehidupan rahib yang pertama di Gunung Karmel. Oleh
karena itu, juga kapela pertama di sana dipersembahkan kepada Bunda Maria.
Sebenarnya ini bukan sesuatu yang istimewa bagi para karmelit karena devosi
kepada Bunda Maria sudah cukup banyak. Dalam seluruh Gereja kita jumpai
devosi-devosi kepada Bunda Maria, walaupun demikian Karmel mempunyai suatu
penghormatan yang khusus kepada Bunda Maria dan Maria mendapat tempat yang
khusus dalam kehidupan Karmel karena itu disebut Maria Bunda Karmel sebagai ungkapan
devosinya kepada Maria. Para rahib di Gunung Karmel dahulu dikenal sebagai
Saudara-saudara Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel. Ini suatu sebutan yang
agak khusus dari yang lain seperti Benediktin yang penghormatannya terhadap
Maria agak berbeda, tetapi Karmel dihubungkan langsung dengan Bunda Maria.
Oleh karena itu, bagi kita Maria mempunyai tempat yang sangat
penting di dalam kehidupan kita. Demikianlah kita melihat Maria itu dalam
hidupnya begitu menjiwai dan erat hubungannya dengan kehidupan para karmelit.
Memang kadang-kadang Maria disebut Ratu Karmel tetapi sebenarnya Maria bagi
kita lebih disebut Bunda daripada Ratu. Bagaimanapun juga Maria telah
memberikan semangat dan inspirasi bagi seluruh hidup kita. Kita boleh
mengatakan Maria itu
Prototipe Para Karmelit, dalam diri Maria kita melihat
perwujudan cita-citanya yang konkrit dan berlaku juga bagi kita di sini. Kita
mau melihat beberapa aspek dari hubungan kita dengan Bunda Maria.
2. Maria Bunda Karmel
Pertama-tama, Maria adalah Bunda Karmel. Hubungan para karmelit
dengan Maria adalah hubungan anak-anak dengan ibu yang dikasihi dan
disayanginya, ini ternyata terbukti dari devosi-devosinya sejak semula. Maria
disebut Maria Bunda Karmel karena pertama-tama dia adalah Bunda Allah sendiri.
Di atas salib Tuhan Yesus telah memberikan Maria kepada kita, di atas salib
Yesus berkata lewat murid yang terkasih.“Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di
sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!"
Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak
saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya” (Yoh. 19:26-27). Sejak saat ini Maria menjadi ibu semua umat
beriman, tetapi secara istimewa Karmel dalam kehidupannya senantiasa mempunyai
devosi yang istimewa kepada Bunda Maria. Namun satu hal yang mencolok dalam
kehidupan Karmel, walaupun ada penghormatan yang mendalam kepada Bunda Maria,
tetapi tidak ada devosi-devosi yang berlebih-lebihan.
Ini rupanya sesuai dengan cara hidup Karmel, tidak ada devosi yang
berlebihan terhadap Bunda Maria sehingga Bunda Maria dalam kehidupan Karmel,
khususnya dalam teks-teks resmi seperti penghayatan ibadat resmi dan
sebagainya, Maria hampir-hampir tidak disebut, kecuali sejak dahulu misalnya
ada perayaan ekaristi dan ibadat khusus tiap hari sabtu. Tiap hari sabtu dimana
tidak ada perayaan yang khusus, tidak ada peringatan kita selalu menghormati
Bunda Maria. Doa-doa kita kepada Bunda Maria diungkapkan dalam lagu-lagu yang
dinyanyikan sesudah perayaan ekaristi dan sesudah berkat penutup dalam ibadat
sebagai penghormatan kita kepada Bunda Maria. Dahulu dalam biara karmel
sendiri, tiap-tiap sabtu dalam salve atau adorasi selalu ada prosesi walaupun
hanya di dalam kapel, prosesi yang cukup meriah untuk menghormati Maria. Namun
di luar itu tidak ada devosi yang berlebih-lebihan kepada Bunda Maria karena
hidup karmel sungguh-sungguh kristosentris, walaupun Bunda Maria mendapat
tempat di dalam karmel.
Kalau Maria dikatakan bagi kita, lebih merupakan Bunda daripada
Ratu, itu karena Maria sebenarnya adalah Bunda kita. St. Theresia dari Lisieux
juga mengemukakan hubungannya dengan Maria dengan ungkapan puisinya yang indah
yang berjudul “Mengapa Aku Mengasihi Engkau Maria”. Kita melihat hubungan Maria
dengan kita karena dia adalah Bunda Yesus. Ada kalanya devosi kepada Maria
dilakukan secara keliru. Kita tidak akan meninggalkan Yesus tetapi sebaliknya
seperti ungkapan termasyhur yang diungkapkan St. Bernardus “Per Mariam ad
Jesum” artinya melalui Maria sampai kepada Yesus Kristus. Maria akan menghantar
kita kepada Yesus dan menghantar kita kepada Bapa.
Maria tidak mau menguasai hidup kita tetapi selalu menghantar dan
membawa kita kepada Putranya, Yesus Kristus dan tidak menghalangi devosi kita
sebagai anak kepada ibunya yaitu Maria sendiri. Dalam karya-karya St. Yohanes
Salib Maria praktis tidak pernah disebut dalam Mendaki Gunung Karmel, Malam
Gelap, Madah Rohani dan karya-karyanya yang lain. Tetapi St. Yohanes Salib
dalam hidupnya sehari-hari mempunyai devosi yang sangat mesra dengan Bunda
Maria, begitu juga dengan St. Theresia Lisieux dan orang kudus karmel lainnya.
Maria menghantar kita kepada Yesus dan tidak menggantikan tempat Yesus.
Kadang-kadang kita melihat devosi kepada Maria yang berlebih-lebihan dan kalau
sudah berlebih-lebihan, itu menjadi bidaah. Dalam hal ini kita harus mempunyai
devosi yang seimbang terhadap Maria.
Memang Maria adalah Bunda kita,tetapi dia tidak pernah
menggantikan kedudukan Yesus dan tidak pernah menggantikan karya Roh Kudus. Dia
dapat mendatangkan atau menurunkan rahmat bagi kita dari Yesus dan memohonkan
rahmat Roh Kudus. Di dalam Karmel devosi kepada Maria ini diungkapkan secara
istimewa dalam devosi skapulir. Devosi skapulir ini dikaitkan dengan seorang
tokoh yang bernama St. Simon Stock yang menerima skapulir coklat sebagai
ungkapan perlindungan Maria bagi karmel dan umat beriman. Begitupula bagi para
rahib karmel yang menggunakan skapulir coklat ini dan siapapun yang
mengenakannya, devosi skapulir merupakan suatu tanda keterpautan kita kepada
Maria bahwa kita milik dan berhamba kepada Maria dan Maria melindungi kita.
Kita lihat dalam konteks zaman dahulu, bangsawan atau raja-raja
yang berkuasa pada waktu itu ada semacam perjanjian dengan orang-orang yang
mengabdi kepada mereka bahwa raja atau bangsawan itu melindungi orang-orang
tersebut. Demikian pula dengan para karmelit yang secara istimewa memberikan
penghormatan kepada Bunda Maria, melalui pemakaian skapulir Bunda Maria
memberikan perlindungan istimewa kepada para karmelit. Satu hal yang menarik
dari apa yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II, Paus ini walaupun
seorang praja dia mempunyai devosi yang istimewa kepada Maria Bunda Karmel dan
ia mengatakan “Saya memakai skapulir karmel hingga sekarang”. Devosi ini
dimulai ketika ia masih muda. Dan Paus ini pernah mempunyai kerinduan untuk
masuk karmel, namun karena dinasihati bahwa memiliki panggilan lain akhirnya ia
masuk dan menjadi imam praja kemudian menjadi Paus. Meskipun hingga saat ini
ada pengertian yang keliru bahwa orang memakai skapulir sebagai ‘jimat’, tetapi
sebenarnya dari segi teologis skapulir mengingatkan kita akan relasi yang
khusus dengan Bunda Maria, Bunda Karmel bahwa dia Bunda kita dan kita ini
anak-anaknya. Ia menghantar kita kepada cinta ilahi dan sebagaimana ibu yang
baik mencintai anak-anaknya, ia juga membawakan rahmat untuk kita.
3. Maria itu Prototipe
Para Karmelit
Kita akan melihat lebih jauh lagi Maria sebagai Prototipe Para
Karmelit. Dalam hal ini ada empat ciri pokok yang akan kita lihat pada Bunda
Maria. Dalam hal itu pula Bunda Maria menjadi model kita, menjadi teladan yang
harus kita ikuti.
3.1. Maria itu Tipe
Orang Beriman
Maria adalah Tipe Orang Beriman, Maria lebih dari yang lain-lain,
selalu hidup dari iman dan dalam iman. Sewaktu menerima kabar gembira dari malaikat
Gabriel, Maria menerima pesan yang kedengarannya mustahil itu dengan iman.
Kalau kita melihat pesan malaikat kepada Maria dan reaksi Maria saat malaikat
mengatakan: “Sesungguhnya
engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah
engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah
Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud,
bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai
selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan" (Luk. 1:31-33). Bagi Maria ini adalah sesuatu yang mustahil dan
tentunya bagi manusia ini adalah mustahil. Walaupun demikian, Maria percaya
karena ia memiliki hati yang rela bagi Allah. Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana
hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" (Luk. 1: 34) .
Ini berbeda dengan ungkapan Zakharia dimana ia mengatakan “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini
akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya” (Luk. 1:18). Maka malaikat memberi tanda kepada Zakharia “Jawab
malaikat itu kepadanya: "Akulah Gabriel yang melayani Allah dan aku telah
diutus untuk berbicara dengan engkau dan untuk menyampaikan kabar baik ini
kepadamu. Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata
sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya
akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya" (Luk. 1:19-20).
Maria percaya kepada salam malaikat Gabriel sehingga ketika ia
mengunjungi Elisabet, Elisabet mengatakan “Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang
dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana" (Luk. 1:45). Maria mendengar dari malaikat Gabriel bagaimana cara
terjadinya. Kata Maria:"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan;
jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38). Kalau kita
merenungkan keadaan Maria, sebagai manusia kita melihat Maria berada dalam
suatu situasi yang sulit. Dengan pertimbangan manusiawi apakah ia dapat
menyampaikan pesan Allah ini kepada St. Yosef sehingga dia pun percaya. Dengan
segala resiko yang mungkin akan dihadapiya, Maria tetap percaya kepada Tuhan.
Kalau Tuhan menghendaki hal itu, pasti Tuhan akan mengatur segala-galanya
karena Maria benar-benar orang beriman yang percaya kepada Allah.
Kata-kata Elisabet yang ditujukan kepada Maria “Dan berbahagialah ia, yang telah
percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana" (Luk. 1:45). Seperti Maria yang hidup sungguh-sungguh dalam iman,
pada dasar regula karmel ditekankan peranan iman ini. Para karmelit harus hidup
dalam iman sesuai dengan teladan Bunda Maria. Karena itu betapa pentingnya
peranan iman dalam kehidupan kita. Dalam regula dikutip dari Ibr. 11:6 “Tetapi
tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa
berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah
memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”. Jadi iman itu yang membuat kita berkenan kepada Allah dan dalam
hal ini Maria bisa disebut ‘Puteri Abraham’. Bapa Abraham yang imannya begitu
besar sehingga oleh Allah diperhitungkan sebagai kebenaran (lih. Rm. 4:3),
demikian juga Maria yang percaya dan tahu bahwa ‘bagi Allah tiada suatupun yang
mustahil’ (lih. Luk. 1:37). Oleh karena itu, Maria adalah tipe orang yang
sungguh-sungguh beriman. Melalui iman ini Maria dapat melihat segala sesuatu
dengan pandangan Allah sendiri. Oleh iman kita dimampukan untuk melihat segala
sesuatu, baik peristiwa menyenangkan maupun tidak menyenangkan sebagai suatu
kebaikan. Apapun yang menimpa kita, kita melihatnya dalam iman. Semua peristiwa
dan kejadian dapat dilihat dalam terang Allah. Orang yang beriman melihat
segala sesuatu dalam pandangan Allah sendiri.
3.2. Maria Sebagai
Pelaksana Kehendak Allah
Sikap Maria ketika mengerti apa yang dikehendaki Tuhan, ia tidak
berpikir panjang untuk menjawab, tetapi setelah ia mengerti bahwa itu kehendak
Allah, dia berkata: "Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38). Dalam hal ini Maria sungguh-sungguh menjadi teladan
kita. Dalam imannya Maria selalu mencari apa yang menjadi kehendak Allah dan
melaksanakannya. Tidak ada prioritas lebih tinggi baginya daripada melaksanakan
kehendak Allah “Terjadilah kepadaku menurut perkataanmu”. Menurut
literatur-literatur rohani kalimat ini sering dikatakan dengan “Fiat”,
ringkasan dari “Fiat Mihi Secundum Verbum Tuum”, artinya “Terjadilah padaku menurut perkataanmu”. Pada dasarnya
seluruh kerinduan hatinya terarah pada pelaksanaan kehendak Allah, baik dalam
dirinya maupun dalam diri orang lain. Karena itu Maria menjadi model dan
teladan kita.
Dalam hal ini Maria juga bukan lain merupakan murid Yesus sendiri,
jadi Maria memang ibu Yesus, tetapi sekaligus murid Yesus. Tuhan Yesus
mengatakan bahwa kehendak Bapa itu merupakan alasan kedatangan-Nya ke dunia
seperti yang diungkapkan surat kepada orang Ibrani, “Karena itu ketika Ia masuk
ke dunia, Ia berkata: "Korban
dan persembahan tidak Engkau kehendaki tetapi Engkau telah menyediakan tubuh
bagiku “(Ibr. 10:5). “Sungguh, Aku datang; dalam gulungan
kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku" (Ibr. 10:5-7). Yesus datang ke dunia semata-mata untuk melakukan
kehendak Allah, kehendak Bapa menjadi norma tertinggi untuk seluruh hidupnya.
Jika kita baca lebih teliti dalam Injil Yohanes, Yesus berkali-kali mengatakan
“Apa yang dilihat-Nya pada Bapa, apa yang dikehendaki-Nya, itulah yang
dilakukan-Nya”. Kita lihat dalam Yoh. 4:34 "Makanan-Ku
ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya”. Dengan teladan Tuhan Yesus dan pada Bunda
Maria kita melihat hati yang seluruhnya terarah kepada kehendak Allah. Mungkin
satu pertanyaan: “Mengapa kita harus mengarah kepada kehendak Allah?”
kadang-kadang terlintas dalam pikiran kita mengapa tidak melakukan kehendak
sendiri saja. Hal ini bahkan dibahas dalam literatur-literatur rohani khususnya
dalam ajaran St. Ignatius Loyola tentang “Mengenali Kehendak Allah” atau
“Membeda-bedakan Roh”. Kembali kita bertanya mengapa kita harus melaksanakan
kehendak Allah?
Pertama-tama karena Allah mahabijaksana, mahatahu dan mahakasih
sehingga kehendak Allah tidak lain seperti yang dikatakan St. Paulus: “Inilah
kehendak Allah yaitu keselamatan kita” (lih. 2 Kor. 7:9-10). Tuhan tidak
menghendaki sesuatu yang tidak baik, kecuali kebaikan dan keselamatan kita.
Memang kadang-kadang keselamatan ini tidak sama dengan kebaikan jasmani
duniawi, bahkan seringkali bertolak belakang dengan pandangan-pandangan
manusiawi. Namun sebenarnya kehendak Tuhan yaitu keselamatan kekal kita. Maka
kadang-kadang Tuhan membiarkan kita menderita sedikit, tetapi dalam penderitaan
sedikit bisa menghasilkan kebaikan yang jauh lebih besar sehingga bila dilihat
dalam terang kebaikan, penderitaan itu tidak ada artinya. Seperti kata St.
Paulus: “Penderitaan
zaman ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kemuliaan yang disediakan
Allah bagi mereka yang mengasihi Dia” (lih. Rm. 8:18). Tuhan
kadang-kadang membiarkan penderitaan tertentu, meskipun penderitaan itu bukan
datang dari Tuhan. Dari penderitaan ia dapat menarik manfaat yang jauh lebih
besar, suatu penderitaan yang menimbulkan pemurnian. Karena itu kita dapat
berkata bahwa “Kehendak Allah harus selalu menjadi pedoman kita, bukan apa yang
kita kehendaki yang penting, tetapi apa yang dikehendaki Allah”. Dalam segala
sesuatu kita harus mencari kehendak Allah. Jika kita mengerti kehendak Allah
maka berbahagialah kita. Karena kalau kita mengerti kehendak Allah, sekaligus
kita tahu bahwa Allah akan mendukung kita seluruhnya.
“Kalau kita menyadari bahwa kita bekerja di dalam kekuasaan Boss
yang besar yaitu Tuhan Allah, jika sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya, kita
akan diberikan kebebasan dan kreativitas yang searah dengan rencana dan tujuan
Tuhan. Tuhan selalu berada di belakang kita dan Dia menyediakan segala sesuatu
yang kita perlukan”. Oleh karena itu, kita melihat seorang seperti St. Teresa
dari Avila berani mengambil tindakan-tindakan yang bisa dikatakan ‘gila’, atau
seperti yang dilakukan Muder Teresa dari Calcutta dan orang kudus lainnya.
Teresa Avila yang ungkapannya termasyhur “Teresa dan satu dukat (mata uang emas
Spanyol) tidak ada artinya, tetapi Yesus, Teresa dan satu dukat itu bisa
menjadi segalanya”. Karena Teresa yakin ini merupakan kehendak Allah, dia juga
tahu bahwa Allah memberikan rahmat sehingga itu semua dapat terlaksana.
Demikian juga kita apabila kita berada dalam rencana dan kehendak Allah maka
kita aman dan mempunyai keyakinan walaupun tampaknya ‘jalan menjadi buntu’,
tetapi bagi Tuhan tidak ada jalan buntu.
3.3. Maria Tipe Orang
Kontemplatif
Kalau kita baca dalam Injil Lukas, Maria merenungkan segala
peristiwa yang dia alami dalam terang iman dan menyimpan dalam hatinya. Dengan
merenungkan dan meresap-resapkan sabda Tuhan orang dapat menemukan cahaya baru
yang menerangi dan menjelaskan apa yang dialaminya. Dengan merenungkan,
meresap-resapkan dan menginteriorisasi semuanya itu orang dapat melihat dalam
iman. Iman ini makin meresap dan mendalam, dan makin mempengaruhi cara
berpikirnya, cara melihatnya, dan tentu saja cara bertindaknya. Iman yang terus
diperdalam ini lama-kelamaan menjadi suatu sikap. Sikap inilah yang disebutsikap kontemplatif. Seorang kontemplatif pertama-tama adalah orang yang hidup dalam
iman. Dahulu istilah kontemplatif lebih dibandingkan dengan istilah ‘aktif’,
yaitu orang yang aktif dan kontemplatif. Dalam tradisi gereja aktif dan
kontemplatif tidak dikaitkan dengan cara hidup biarawan dan biarawati tertentu,
tetapi lebih dikaitkan dengan perkembangan iman seseorang. Sehingga jika pada
permulaan orang menjadi ‘aktif’, artinya imannya belum begitu mendalam, selain
itu karya kerasulan disebut juga sebagai hidup aktif.
Orang kontemplatif yang hidup imannya makin mendalam, ia makin
meresapkan Sabda Allah, mengenal Allah, serta mengalami kasih-Nya. Ia berpindah
dari hidup yang aktif ke dalam hidup kontemplatif. Dalam perkembangannya hidup
kontemplatif dikaitkan dengan kelompok-kelompok tertentu yang membaktikan
seluruh hidupnya untuk doa dan kontemplasi yang kemudian disebut pola atau cara
hidup kontemplatif. Namun pada permulaan istilah kontemplatif dikaitkan dengan
perkembangan rohani seseorang. Sebagai contoh, diantara para suster dari
serikat aktif dapat dijumpai suster yang boleh dikatakan seorang kontemplatif
yang sejati, tetapi ini tidak dijumpai pada suster-suster kontemplatif. Suster
ini mempunyai hidup iman yang mendalam dan melihat segala sesuatu dalam terang
iman. Tidak hanya para religius, seorang awampun dapat menjadi orang
kontemplatif.
Demikian juga dengan Bunda Maria, walau ia tidak mempunyai
‘klausura’ (tempat tertutup untuk para suster kontemplatif dan tidak boleh
dikunjungi kaum awam), dan tidak mempunyai biara, dengan terus-menerus Maria
merenungkan dan meresap-resapkan Sabda Allah. Ia melihat segala sesuatu dalam terang
iman. Bagi kita suatu suasana atau iklim rohani keheningan dan kesunyian sangat
membantu untuk tumbuhnya sikap kontemplatif. Sebaliknya, seringkali terjadi
orang-orang yang sibuk menulis dan sebagainya kalau tidak menyediakan waktu
untuk melakukan refleksi, umumnya tidak menjadi ‘kontemplatif’. Karena
peresapan sabda yang terus menerus, Maria dapat mengenali dan melihat segala
peristiwa yang dialaminya dalam terang iman serta dapat mengenali kehadiran
Tuhan dalam setiap perkara yang dialaminya.
3.4. Maria itu Orang
yang Peka dan Tanggap Terhadap Bimbingan Roh Kudus
Berbeda dengan Zakharia yang harus mengalami kebisuan karena
kurang tanggap terhadap rencana Allah, tetapi Maria sangat peka terhadap
bimbingan Roh Kudus. Dalam terang Roh Kudus itu Maria dengan cepat mengerti
rencana Allah dan tanggap terhadap kehendak Allah. Oleh karena itulah, setelah
mengerti dan tanggap terhadap rencana dan kehendak Allah, dengan tiada ragu
Maria dapat berkata “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu”.
Kita mengtahui bahwa Roh Kudus menjadi jiwa setiap orang beriman
seperti yang diungkapkan oleh St. Paulus bahwa “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah” (Rm. 8:14), juga ungkapan yang paling tepat kepada umatnya di
Galatia: “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga
dipimpin oleh Roh” (Gal. 5:25). Ini berarti peka
terhadap bimbingan dimana Roh membimbing kita dan Roh memberikan inspirasi yang
kita kenal dengan ketujuh karunia Roh Kudus. Roh itu mendorong, membimbing dan
menguasai orang lewat karunia-karunia-Nya. Jika dibandingkan, karunia-karunia
Roh Kudus itu ibarat antena-antena yang sangat peka. Melalui antena-antena ini
orang mampu menangkap gelombang-gelombang Roh Kudus. Hal ini menjadi berbahaya
jika kita hanya mengandalkan kemampuan dan pengalaman kita sendiri. Karena itu
kita perlu berada dalam ketaatan. Kadang-kadang orang mengira suatu saat Roh
Allah yang berbicara, tetapi ternyata ini berasal dari roh neraka atau roh
jahat, sehingga banyak orang tertipu. Salah satu ciri jika seseorang dikuasai
oleh Roh Allah yaitu jika ia tumbuh dalam kerendahan hati yang sejati. Orang
yang dikuasai oleh Roh Allah tidak mungkin menjadi sombong, karena Allah
menentang orang yang sombong tetapi mengasihi orang yang setia dan rendah hati.
Salah satu ciri yang jelas dari karunia-karunia Roh Kudus diketahui dari
kerendahan hati.
Bunda Maria seorang yang amat rendah hati. Ini terungkap dalam
perkataannya “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu” serta
ungkapannya dalam Luk. 1:46-49 "Jiwaku
memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia
telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang
segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah
melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus”. St. Teresa dari Avila mengatakan “Kerendahan hati tidak lain
adalah kebenaran”, karena dalam terang Roh Kudus kita akan melihat siapakah aku
ini? Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus kepada St. Katarina dari Siena “Aku
adalah yang Ada, engkau bukan yang apa-apa”. Semakin orang diterangi dan
dibimbing oleh Roh Kudus, semakin ia menyadari kekecilannya tetapi sekaligus
dalam paradoksnya walau ia kecil dan tidak berdaya, ia mengharapkan
segala-galanya dari Allah. Seperti yang dikatakan St. Paulus : “Aku lemah
tetapi aku bisa segalanya dalam Dia yang menguatkan aku” (lih. 2 Kor. 12:9-10).
Karena kita berada dalam kuasa Allah yang tidak terbatas maka bagi orang yang
percaya ‘bagi Allah tiada yang mustahil’ (lih. Luk. 1:37).
Bunda Maria tanggap terhadap bimbingan Roh Kudus dan dia tidak
menjadi takut terhadap seluruh konsekuensi yang timbul dari penyerahan dirinya
“Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Oleh karena itu
Maria dapat melihat, mengerti dan menangkap apa yang menjadi kehendak Allah
lewat inspirasi dan bimbingan Roh Kudus, seperti yang dikatakan Yesus: “Angin bertiup ke mana ia mau, dan
engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke
mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari
Roh" (Yoh. 3:8). Orang yang hidup dalam Roh
seringkali tidak dapat diduga-duga, karena ia tanggap dan peka terhadap
inspirasi dan bimbingan Roh Kudus.
(Sumber: Kaset Pengajaran Rm. Yohanes Indrakusuma,
O.Carm. ditulis kembali oleh Serafim Maria, CSE.)
www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web
hosting