Senin, 14 Juli 2014

Tri Prasetia



TRI PRASETIA KEKAL SEPANJANG MASA
Oleh:Fr. Wilhelmus Wele
Mahasiswa STFK Ledalero
Zaman ini adalah zaman globalisasi, saat dunia dirasakan lebih kecil sebelunmnya. Dengan kemajuan teknologi yang canggih, seperti handphone, internet, televisi dan lain-lain, dunia juga terasa semakin sempit, karena berbagai informasi dapat diketahui orang di seluruh dunia secara tepat, dan juga seluruh kebutuhan manusia dari yang primer sampai yang sekunder tercukupi. Tetapi, di balik ini ada satu hal yang perlu diperhatikan, orang hanya ingin enaknya saja atau dengan kata lain muncul istilah Budaya Instant.
Di tengah jaman modern ini ada sekian banyak pemuda/pemudi yang mau melawan arus jaman modern dengan mengambil bagian dalam hidup membiara. Ada yang melawannya melalui jalan Projo (Pr), SVD, Ordo Karmel (O.Carm),dll. Para pemuda/pemudi ini dengan berani melepaskan segala hal yang bersifat sementara (duniawi) dan mengutamakan kerajaan Allah. Kaul keperawanan, merupakan salah satu kaul kekal yang diucapkan oleh kaum biarawan-biarawati. Dalam kaul ini mereka menyadari, hidup tidak menikah adalah anugerah yang Tuhan berikan secara pribadi. Mereka bersyukur atas kaul keperawanan ini. Namun sering kita juga sulit merasa bersyukur, karena semangat hidup selibat tidak kuat, mengalami hambatan besar dalam hidup, mereka tidak peduli dengan penghayatan kaul keperawanan.
Dalam kehidupan sehari-hari, perlu adanya penghayatan kaul kemurnian dalam bentuk kebersamaan sebagai salah satu saudara yang dipanggil. Jika tidak dihayati secara sungguh-sungguh, akan berakibat buruk. Kita juga dituntut untuk menghadapi godaan yang begitu pelan dan lembut, maka kita harus berani dengan tegas menolak. Bukan berarti jika jatuh, lantas keluar. Kita bisa merenungkan kata-kata Rasul Paulus, yaitu “roh itu penurut, tetapi daging itu lemah”.
Kaul kemiskinan, ternyata membawa kebahagiaan, karena kita dapat menghayati secara sungguh-sungguh dalam kehidupan membiara. Namun, beberapa orang merasa bahwa kaul kemiskinan dirasakan mengikat dan menekan. Karenanya kita mesti berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, serta menemukan arti tujuan hidup yang sebenarnya.
Kadangkala muncul pikiran dalam diri kita, bolehkah kita memiliki fasilitas yang lengkap? Dalam hal ini, kita harus memiliki sikap dan patokan sebagai pegangan. Kita mesti merefleksikan bentuk kemiskinan yang akan menimbulkan bentrokan dalam diri. Kaul kemiskinan ini juga dapat menumbuhkan semangat murah hati. Kita diajak untuk hidup jujur dan menjadi pejuang keadilan bagi kaum kecil.
Menghayati kaul-kaul
Kaul kemiskinan. Jika orang ingin menjadi rahib ukuran awalnya ialah penolakan harta milik dan membaginya pada orang miskin. Titik perhatian mereka pada cinta pada orang yang lebih membutuhkan. Hal ini dihubungkan dengan Mat 19, 21 (perintah Tuhan pada orang kaya.)
kemiskinan anakorit (anachoretism, diambil dari bhs Yunani: anachorein= mengundurkan diri, menarik diri dari keramaian dan menyepi).
Kemiskinan dalam senobitisme (hidup bertapa dalam komunitas)
Kaum senobit tetap setia pada tradisi anakorit, memegang teguh penolakan milik sebagai permulaan hidup religius mereka. Tetapi sebagai ganti menyerahkan milik pada orang miskin, mereka menyerahkan pada komunitas yang akan mereka masuki. Pachomius dan para muridnya lalu menyadari bahwa demi kelanjutan komunitas atau alasan teologis, ternyata penting juga  memiliki harta milik bersama. Tetapi bukan milik pribadi, alasannya Tuhan telah memberikan dirinya untuk sahabat-sahabatNya, maka persaudaraan para murid model gereja awali perlu jadi model utama.
Kemiskinan dalam KS. Pada awalnya kemiskinan seperti dalam kitab Kebijaksanaan, selalu dipandang sebagai suatu kemalangan, yang lalu dihubungkan dengan dosa seseorang (Ams. 6,6-11; 21, 17; 23,21). Para nabi menghadapi situasi berbeda: orang kaya yang kecil jumlahnya mendominasi situasi masyarakat, dan keadilan selalu di tangan mereka. Si penindas dalam jaman ini di ibaratkan langsung dengan orang kaya. Para nabi ingin memperjuangkan nasib si miskin, sehingga sangat peka dengan hak-hak orang miskin.

Mesias orang miskin dalam PB, kedatangan Kristus adalah kabar gembira, adalah pembebasan bagi orang miskin. Sebab dalam masa kedatangan Kristus, tidak ada lagi penderitaan lagi, maka mereka pun terbebas dari penindasan. Karena itu orang miskin menjadi model orang yang akan mendapat kuasa Tuhan (Mt 25, 34-40).
Dengan penghayatan seperti ini maka kemiskinan menghasilkan pembebasan. Suatu pembebasan dari ketergantungan yang berlebihan akan makanan, pakaian dan sahabat khusus, jadi berarti suatu pengintegrasian dan penataan hidup. Dan ini berarti sikap siaga untuk lepas bebas secara luas demi Tuhan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa kemiskinan bukanlah pertama-tama penanggalan harta atau milik ataupun pemutusan seluruh hubungan pribadi dengan orang lain. Kemiskinan pertama-tama adalah integrasi hidup dalam TUHAN, yang melahirkan suatu sikap hidup.
Secara singkat hidup religius itu ingin menjelmakan ketaatan yang khas, menjadi ungkapan ketaatan Gereja kepada Kristus. Apa yang kita ikrarkan dalam ketaatan injil? Kita mencari kehendak Allah secara resmi dan eksplisit melalui ajaran injil, konstitusi dan aturan hidup kebiaraan; kehidupan gereja.
Juga dalam lembaga kita diminta taat pada pembesar. Tujuan yang mau dicapai adalah suatu kerjasama yang dijiwai cinta kasih antara pembesar dan anggota dalam mencari rencana keselamatan TUHAN. Setia sepenuh hati pada pembesar serta mempercayai mereka sebagai alat ditangan Tuhan yang berkarya dalam hidup dapat menumbuhkan inspirasi timbal balik  untuk semakin  baiknya hidup membiara.
Kaul Kemurnian demi Kerajaan Allah. Kristuslah satu-satunya Mempelai kita, seseorang yang memilih sikap hidup murni hendaknya menghayati satu sikap hormat yang tearah semata kepada sang Pencipta, sebagai satu-satuNya pribadi, tetapi ia juga masih menghormati ciptaan lain, juga dirinya. Ini berarti, ia tetap menghormati hidup seksualitas dengan segala kedalaman artinya, dan mengangkatnya ke dalam tataran ilahi  sebagai pemberian cinta Allah yang menyatukan, sebagai ungkapan pemberian diri pribadi yang satu kepada yang lain.
Keperawanan demi kerajaan Allah, tidak cukuplah kiranya, bahwa orang memilih hidup perawan karena nasihat Injil. Kaul keperwanan harus benar-benar dimaksudkan langsung untuk Tuhan, dipersembahkan secara khusus untukNya (Mat 19:11-12). Maka hidup selibat dipilih dengan senang hati, dengan gembira sebagai penghayatan “tubuhku yang kupersembahkan” terus – menerus dalam cinta. Karenanya keperawanan adalah juga suatu pengendalian nilai-nilai manusiawi, yakni juga pengendalian nilai-nilai seksual demi kebaikan yang lebih tinggi.
Kaul Ketaatan. Kaul Ketaatan lebih tinggi daripada dua kaul yang pertama. Sungguh, kaul ketaatan adalah suatu kurban, dan ia lebih penting karena ia membangun dan menjiwai tubuh religius. Dengan kaul ketaatan biarawan/wati berjanji pada Allah untuk taat kepada para pimpinan yang sah dalam segala sesuatu yang mereka perintahkan demi peraturan. Kaul ketaatan membuat biarawan/wati bergantung kepada pimpinan atas dasar peraturan-peraturan sepanjang hayatnya dan dalam segala urusannya. Seorang biarawan/wati berdosa berat melawan kaul ketaatan setiap kali ia tidak taat kepada peraturan yang diberikan atas dasar ketaatan dan peraturan-peraturan.

Keutamaan Ketaatan. Keutamaan ketaatan lebih luas daripada kaul ketaatan; keutamaan ini mencakup ketentuan dan peraturan, dan bahkan nasihat-nasihat para pimpinan.
Keutamaan ketaatan sangat diperlukan oleh seorang biarawan/wati sehingga, kalau ia melakukan perbuatan-perbuatan baik yang bertentangan dengan ketaatan, perbuatan itu menjadi tidak baik dan tidak ada pahalanya.
Manusia berdosa berat melawan keutamaan ketaatan kalau ia melecehkan pimpinan atau perintah pimpinan, atau kalau ketidak-taatan mengakibatkan kerugian rohani atau jasmani kepada komunitas.
Curiga terhadap pimpinan atau menyembunyikan rasa antipati terhadapnya – menggerutu dan mengecam, malas dan lalai.

Tingkat-tingkat Ketaatan. Memenuhi perintah dengan tulus dan sempurna – ini disebut ketaatan kehendak kalau kehendak mendorong budi untuk tunduk kepada nasihat pimpinan. Sehubungan dengan ini, untuk menunjang ketaatan, Santo Ignasius menganjurkan tiga saran: selalu melihat Allah dalam diri pimpinan, siapa pun dia; membenarkan perintah atau nasihat pimpinan; menerima setiap perintah sebagai perintah dari Allah, tanpa mempertanyakannya atau menimbang-nimbangnya. Saran umum: kerendahan hati. Tidak ada sesuatu yang sulit bagi orang yang rendah hati.  Hayatilah kemiskinan, kemurnian dan ketaatan!!!








Tidak ada komentar:

Posting Komentar