PEMILU YANG DEMOKRATIS
(Willy Wele)
PENGANTAR
Semua masyarakat menginginkan pemilu berjalan dengan aman dan
damai. Tetapi dilihat dari perilaku banyak orang yang menjadi simpatisan partai
politik tertentu, sepertinya harus ada usaha ekstra untuk menciptakan kedamaian
tersebut. Seruan agar semua pihak
menahan diri untuk tidak memprovokasi pihak lain, rupanya hanya sekedar himbauan
yang didengarkan lewat telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri, dan
sama sekali tidak berhenti sejenak di kepala.
Akibatnya banyak terjadi pelanggaran
atas aturan yang ada.
“Kita tahu bahwa sampai hari ini
aparat keamanan dalam menangani kampanye telah melakukan penilangan sebanayk 379 kasus pelanggaran
terhadap aturan. Tentu masih banyak lagi
yang tidak ketahuan, sehingga tidak termasuk yang dihitung tersebut. Harapan agar pemilu termasuk palaksanaan
kampanye dapat berjalan sesuai dengan aturan main yang ada, termasuk pematuhan
terhadap aturan berlalu-lintas, ternyata kandas, sehubungan dengan hiruk
pikuknya kampanye. Secara umum kita
memang melihat ada sedikit perbedaan
kampanye tahun ini dengan sebelumnya,
yang membuat masyarakat sedikit lebih legah.
Hanya saja tetap masih banyak pelanggaran yang terjadi.”[1]
PEMILU YANG DEMOKRATIS
Keutamaan dalam sistem demokrasi
adalah bahwa penyelenggaraan kekuasaan yang menempatkan semua rakyat pada
pososi yang sama. Warga yang telah mencapai usia tertentu berhak untuk
memberikan perspektifnya dengan bebas. Dalam demokrasi tidak memperkenankan adanya
diskriminasi dalam distribusi kesempatan berpendapat dan menyatakan pendapat. Syarat
untuk membatasi penggunaan hak seseorang sebagai warga sebuah negara demokratis
diusahakan seminimal mungkin. Tidak ada warga yang dilarang berpartisipasi
dalam kehidupan bersama karena alasan-alasan yang bersifat primordial seperti
suku, ras, agama dan gender.[2]
Demokrasi berpandangan bahwa
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat mengungkapkan
diri dalam pengaturan penyelenggara kekuasaan. Warga negara disebut berdaulat
jika warga tersebut sadar akan apa yang menjadi hak yang dapat dituntutnya dari
kesatuan politis yang ada, dan jika ia mempunyai hak untuk menentukan orang
yang melaksanakan apa yang dikehendakinya.
Pemilu sebagai ukuran demokrasi bertolak
dari pandangan dasar yang mengatakan bahwa pemilu yang sejati mengandaikan
adanya demokrasi. Tanpa demokrasi pemilu hanya akan merupakan sebuah sandiwara
yang mahal harga finansial dan sosialnya, namun tidak merupakan sarana
demokratisasi yang memadai. Demokrasi menjadi dasar sebuah pemilu yang bermutu.
Kendatipun juga disadari bahwa demokrasi harus selalu diusahakan, apa pun
kondisinya. Tidak perlu sampai pada terciptanya suasana demokratis yang
sempurna.[3]
Bertolak
dari pengelaman dalam pemilu legislatif dan PilPres serta Pilkada di berbagai
tempat di Indonesia, dapat dikatakan bahwa dalam tahapan pelaksanaan pemilu,
ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yakni kecerdasan dalam menentukan
pilihan, kejujuran dalam menghitung suara dan kejelian untuk menjadi saksi
dalam pemilu. Jika ketiga hal tersebut tidak diperhatikan, sebuah pemilu tidak
mencapai sasarannya yakni menjadi sarana demokratis dalam menentukan pemimpin
untuk periode yang akan datang.
Cerdas Memilih. Pemilih
yang mendasarkan pilihannya pada pertimbangan rasional. Baginya pilihan tidak
dijatuhkan berdasarkan dorongan perasaan.
Jujur Menghitung. Ketidakjujuran
dalam penghitungan suara dapat menjadi sebab bagi kegagalan sebuah pemilu yang
demokratis.
Saksi yang Tegar. Saksi yang
tegar adalah saksi yang tidak takut mennyampaikan kecurangan, dan tidak
melakukan kecurangan.[4]
Pemilih Pemilu yang Demokratis
Pemilih memiliki peran yang sentral
dalam pemilu. Ketika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat, maka pemilih sesungguhnya adalah pemilik saham
pemerintahan terpilih yang sedang memberikan mandat kepada para calon pejabat
publik untuk mengatur dan mengelola negara untuk kepentingan mereka.
Sistem demokrasi membangun hubungan dua arah dan partisipatif antara pemerintah hasil pemilu dan rakyatnya. Pemerintah mengambil kebijakan atau sebaliknya atas dasar kepentingan rakyat, bukan kepentingan partainya, apalagi kepentingan individunya. Partisipasi aktif inilah yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan demokrasi di negara Mana pun. Demokrasi yang mapan membutuhkan ruang deliberasi bagi publik untuk menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan dan memastikan apa yang mereka sampaikan didengar dan dijadikan dasar dalam proses-proses pengambilan keputusan pemerintah.
Proses partisipasi aktif dalam pemerintahan ini jika ditarik mundur diawali dari partisipasi otonom rakyat dalam proses-proses pemilu. Asumsi sederhananya, pemilih yang otonom memilih karena kesadaran dan keinginan terhadap perubahan, maka setelah proses pemilu berakhir ia akan tetap menjadi pemilih yang sadar dalam mengawal perubahan yang diharapkannya.
Sistem demokrasi membangun hubungan dua arah dan partisipatif antara pemerintah hasil pemilu dan rakyatnya. Pemerintah mengambil kebijakan atau sebaliknya atas dasar kepentingan rakyat, bukan kepentingan partainya, apalagi kepentingan individunya. Partisipasi aktif inilah yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan demokrasi di negara Mana pun. Demokrasi yang mapan membutuhkan ruang deliberasi bagi publik untuk menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan dan memastikan apa yang mereka sampaikan didengar dan dijadikan dasar dalam proses-proses pengambilan keputusan pemerintah.
Proses partisipasi aktif dalam pemerintahan ini jika ditarik mundur diawali dari partisipasi otonom rakyat dalam proses-proses pemilu. Asumsi sederhananya, pemilih yang otonom memilih karena kesadaran dan keinginan terhadap perubahan, maka setelah proses pemilu berakhir ia akan tetap menjadi pemilih yang sadar dalam mengawal perubahan yang diharapkannya.
Maka membangun pemilih sama
pentingnya membangun pemilu itu sendiri dan sama pentingnya dengan membangun
demokrasi. Pemilih senyatanya adalah pilar demokrasi yang utama. Oleh karena
itu urusan DPT harus dipandang bukan semata urusan administrasi, ia merangkum
segala potensi yang membangun pemilu dan demokrasi itu sendiri. Inilah makna one
person one vote one value yang sering didengungkan dari pemilu ke pemilu.
Untuk menyadarkan bahwa setiap pemilih bermakna bagi proses perubahan butuh edukasi yang panjang, tidak sekadar saat-saat menjelang pemilu, tapi sepanjang masa pemerintahan hasil pemilu terbentuk. Pemilih dengan segala potensi yang dimilikinya harus tetap menjadi masyarakat yang aware bahwa pilihan mereka bukan cek kosong.
Mereka akan selalu menjadi penagih janji sehingga pejabat publik terpilih (caleg maupun presiden-wapres) dibuat tidak bisa lelap dalam tidur sebelum menunaikan janji-janjinya. Saat itulah demokrasi menjadi produktif dan bermakna bagi proses perubahan.
Seluruh pihak harus memberikan perhatian serius terhadap pemilih. Penyelenggara pemilu harus menjamin seluruh warga negara yang berhak memilih agar terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab. Penyelenggara juga harus bekerja keras untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi pemilih yang sadar dengan pilihannya dan secara sistematis mengawasi dan mengevaluasi pilihannya usai pemilu.[5]
Ciri Pemilu yang Demokratis
Untuk menyadarkan bahwa setiap pemilih bermakna bagi proses perubahan butuh edukasi yang panjang, tidak sekadar saat-saat menjelang pemilu, tapi sepanjang masa pemerintahan hasil pemilu terbentuk. Pemilih dengan segala potensi yang dimilikinya harus tetap menjadi masyarakat yang aware bahwa pilihan mereka bukan cek kosong.
Mereka akan selalu menjadi penagih janji sehingga pejabat publik terpilih (caleg maupun presiden-wapres) dibuat tidak bisa lelap dalam tidur sebelum menunaikan janji-janjinya. Saat itulah demokrasi menjadi produktif dan bermakna bagi proses perubahan.
Seluruh pihak harus memberikan perhatian serius terhadap pemilih. Penyelenggara pemilu harus menjamin seluruh warga negara yang berhak memilih agar terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab. Penyelenggara juga harus bekerja keras untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi pemilih yang sadar dengan pilihannya dan secara sistematis mengawasi dan mengevaluasi pilihannya usai pemilu.[5]
Ciri Pemilu yang Demokratis
Hak pilih umum, pemilu disebut
demokratis manakala semua warga negara dewasa menikmati hak pilih pasif dan
aktif. Hak pilih pasif, yaitu hak warga negara untuk dapat dipilih menjadi
wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Hak pilih
aktif, yaitu hak setiap warga negara untuk dapat memilih atau menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu untuk memilih wakilnya yang akan mewakilinya di lembaga perwakilan
rakyat.
Kesetaraan bobot suara, suara
tiap-tiap pemilih diberi bobot yang sama, artinya tidak boleh ada sekelompok
warga negara, apa pun kedudukan, sejarah kehidupan, dan jasa-jasanya, yang
memperoleh lebih banyak wakil dari warga lainnya. Contoh bila harga
sebuah kursi parlemen adalah 420.000 suara, maka harus ada jaminan bahwa tak
ada sekelompok warga negara pun yang kurang dari kuota tersebut mendapatkan
satu atau bahkan lebih di parlemen.
Tersedianya pilihan yang signifikan,
para pemilih harus dihadapkan pada pilihan-pilihan atau calon-calon wakil
rakyat atau partai politik yang berkualitas.
Kebebasan nominasi, Pilihan-pilihan
itu harus datang dari rakyat sendiri melalui organisasi atau partai politik
yang telah diseleksi untuk memdapatkan calon yang mereka pandang mampu
menerjemahkan kebijakan organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Persamaan hak kampanye, melalui
kampanye mereka memperkenalkan program kerja kepada rakyat pemilih, pemecahan
masalah yang ditawarkan, serta program kesejahteraan, dan lain-lain.
Kebebasan dalam memberikan suara,
para pemilih dapat menentukan pilihannya secara bebas, mandiri, sesuai dengan
pertimbangan-pertimbangan hati nuraninya.
Kejujuran dalam penghitungan suara,
kecurangan dalam penghitungan suara akan menggagalkan upaya menjelmakan rakyat
ke dalam badan perwakilan rakyat. Pemantau independen dapat menopang
perwujudan kejujuran dalam penghitungan suara.
Penyelenggaraan secara periodik,
pemilu tidak boleh dimajukan atau diundurkan sekehendak hati penguasa.
Pemilu tidak boleh digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan
kekuasaannya. Tapi pemilu digunakan untuk sarana penggantian kekuasaan
secara damai dan terlembaga.[6]
KESIMPULAN
Pemilu yang hakekatnya ialah pesta demokrasi rakyat
memang benar benar dimiliki oleh rakyat dan sama sekali tidak dikendalikan oleh
para politisi untuk memperoleh
keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Rakayat pada saatnya akan mampu
menentukan pilihan mereka sesuai dengan keyakinan mereka bahwa para calon yang
menawarkan program kepada masyarakat dapat dilihat dari tingkat keseriusan
mereka dan juga rekam jejak mereka dalam
masyarakat. Kalau hal ini dapat berjalan dengan mulus, maka para calon angota legislatif yang terpilih
pun memang dikehendaki oleh rakyat, dan bukan disebabkan karena banyaknya modal calon yang dapat mempengaruhi
pilihan rakyat.
Pemilu damai, demokratis dan
berkualitas, itulah kata kunci yang harus terus kita perjuangkan. Partai politik
peserta pemilu juga dihimbau untuk
serius dalam hal pengawasan pemilu, bukan saja saat pelaksaan coblosan, melainkan
juga termasuk mengawasi perjalanan selanjutnya hingga rekapitulasi akhir di KPU
pusat. Dengan begitu langkah dan niat pihak yang akan memalsukan hasil pemilu
akan tidak dapat direalisasikan dan pada saatnya pemilu kita relatif lebih
berkualitas dan dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Paul Budi Kleden, Bukan Doping Politik. Yogyakarta: Ledalero, 2013.
INTERNET
Admin,
Merindukan Pemilu Damai (Online), (http://muhibbin-noor.walisongo.ac.id/?op=informasi&sub=2&mode=detail&id=1333&page=1),
diakses 09 April 2014.
Suara Politikus Pemilih Pemilu
Demokratis (Online), (http://nasional.sindonews.com/read/2013/11/26/17/810276/pemilih-pemilu-demokratis), diakses
10 April 2014.
Austin
Ranney, Ciri Pemilu yang Demokratis
(Online), (http://societykamaru.blogspot.com/2013/05/ciri-pemilu-yang-demokratis-menurut.html), diakses
10 April 2014.
[1] Admin, Merindukan Pemilu Damai (Online), (http://muhibbinnoor.walisongo.ac.id/?op=informasi&sub=2&mode=detail&id=1333&page=1),
diakses 09 April 2014.
[5] Suara Politikus Pemilih Pemilu Demokratis
(Online), (http://nasional.sindonews.com/read/2013/11/26/17/810276/pemilih-pemilu-demokratis), diakses 10 April 2014.
[6] Austin
Ranney, Ciri Pemilu yang Demokratis (Online),
(http://societykamaru.blogspot.com/2013/05/ciri-pemilu-yang-demokratis-menurut.html), diakses 10 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar