Rabu, 22 Oktober 2014

PEMILU YANG DEMOKRATIS




PEMILU YANG DEMOKRATIS 
(Willy Wele)


PENGANTAR
Semua masyarakat  menginginkan pemilu berjalan dengan aman dan damai. Tetapi dilihat dari perilaku banyak orang yang menjadi simpatisan partai politik tertentu, sepertinya harus ada usaha ekstra untuk menciptakan kedamaian tersebut.  Seruan agar semua pihak menahan diri untuk tidak memprovokasi pihak lain, rupanya hanya sekedar himbauan yang didengarkan lewat telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri, dan sama sekali tidak berhenti sejenak di kepala.  Akibatnya  banyak terjadi pelanggaran atas aturan yang ada.
“Kita tahu bahwa sampai hari ini aparat keamanan dalam menangani kampanye telah melakukan  penilangan sebanayk 379 kasus pelanggaran terhadap aturan.  Tentu masih banyak lagi yang tidak ketahuan, sehingga tidak termasuk yang dihitung tersebut.  Harapan agar pemilu termasuk palaksanaan kampanye dapat berjalan sesuai dengan aturan main yang ada, termasuk pematuhan terhadap aturan berlalu-lintas, ternyata kandas, sehubungan dengan hiruk pikuknya kampanye.  Secara umum kita memang melihat ada  sedikit perbedaan kampanye  tahun ini dengan sebelumnya, yang membuat masyarakat sedikit lebih legah.  Hanya saja tetap masih banyak pelanggaran yang terjadi.”[1]
PEMILU YANG DEMOKRATIS
Keutamaan dalam sistem demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan kekuasaan yang menempatkan semua rakyat pada pososi yang sama. Warga yang telah mencapai usia tertentu berhak untuk memberikan perspektifnya dengan bebas. Dalam demokrasi tidak memperkenankan adanya diskriminasi dalam distribusi kesempatan berpendapat dan menyatakan pendapat. Syarat untuk membatasi penggunaan hak seseorang sebagai warga sebuah negara demokratis diusahakan seminimal mungkin. Tidak ada warga yang dilarang berpartisipasi dalam kehidupan bersama karena alasan-alasan yang bersifat primordial seperti suku, ras, agama dan gender.[2]
Demokrasi berpandangan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat mengungkapkan diri dalam pengaturan penyelenggara kekuasaan. Warga negara disebut berdaulat jika warga tersebut sadar akan apa yang menjadi hak yang dapat dituntutnya dari kesatuan politis yang ada, dan jika ia mempunyai hak untuk menentukan orang yang melaksanakan apa yang dikehendakinya.
Pemilu sebagai ukuran demokrasi bertolak dari pandangan dasar yang mengatakan bahwa pemilu yang sejati mengandaikan adanya demokrasi. Tanpa demokrasi pemilu hanya akan merupakan sebuah sandiwara yang mahal harga finansial dan sosialnya, namun tidak merupakan sarana demokratisasi yang memadai. Demokrasi menjadi dasar sebuah pemilu yang bermutu. Kendatipun juga disadari bahwa demokrasi harus selalu diusahakan, apa pun kondisinya. Tidak perlu sampai pada terciptanya suasana demokratis yang sempurna.[3]
Bertolak dari pengelaman dalam pemilu legislatif dan PilPres serta Pilkada di berbagai tempat di Indonesia, dapat dikatakan bahwa dalam tahapan pelaksanaan pemilu, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yakni kecerdasan dalam menentukan pilihan, kejujuran dalam menghitung suara dan kejelian untuk menjadi saksi dalam pemilu. Jika ketiga hal tersebut tidak diperhatikan, sebuah pemilu tidak mencapai sasarannya yakni menjadi sarana demokratis dalam menentukan pemimpin untuk periode yang akan datang.
Cerdas Memilih. Pemilih yang mendasarkan pilihannya pada pertimbangan rasional. Baginya pilihan tidak dijatuhkan berdasarkan dorongan perasaan.
Jujur Menghitung. Ketidakjujuran dalam penghitungan suara dapat menjadi sebab bagi kegagalan sebuah pemilu yang demokratis.
Saksi yang Tegar. Saksi yang tegar adalah saksi yang tidak takut mennyampaikan kecurangan, dan tidak melakukan kecurangan.[4]        
Pemilih Pemilu yang Demokratis
Pemilih memiliki peran yang sentral dalam pemilu. Ketika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka pemilih sesungguhnya adalah pemilik saham pemerintahan terpilih yang sedang memberikan mandat kepada para calon pejabat publik untuk mengatur dan mengelola negara untuk kepentingan mereka.
Sistem demokrasi membangun hubungan dua arah dan partisipatif antara pemerintah hasil pemilu dan rakyatnya. Pemerintah mengambil kebijakan atau sebaliknya atas dasar kepentingan rakyat, bukan kepentingan partainya, apalagi kepentingan individunya. Partisipasi aktif inilah yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan demokrasi di negara Mana pun. Demokrasi yang mapan membutuhkan ruang deliberasi bagi publik untuk menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan dan memastikan apa yang mereka sampaikan didengar dan dijadikan dasar dalam proses-proses pengambilan keputusan pemerintah.

Proses partisipasi aktif dalam pemerintahan ini jika ditarik mundur diawali dari partisipasi otonom rakyat dalam proses-proses pemilu. Asumsi sederhananya, pemilih yang otonom  memilih karena kesadaran dan keinginan terhadap perubahan, maka setelah proses pemilu berakhir ia akan tetap menjadi pemilih yang sadar dalam mengawal perubahan yang diharapkannya.
Maka membangun pemilih sama pentingnya membangun pemilu itu sendiri dan sama pentingnya dengan membangun demokrasi. Pemilih senyatanya adalah pilar demokrasi yang utama. Oleh karena itu urusan DPT harus dipandang bukan semata urusan administrasi, ia merangkum segala potensi yang membangun pemilu dan demokrasi itu sendiri. Inilah makna one person one vote one value yang sering didengungkan dari pemilu ke pemilu.
Untuk menyadarkan bahwa setiap pemilih bermakna bagi proses perubahan butuh edukasi yang panjang, tidak sekadar saat-saat menjelang pemilu, tapi sepanjang masa pemerintahan hasil pemilu terbentuk. Pemilih dengan segala potensi yang dimilikinya harus tetap menjadi masyarakat yang aware bahwa pilihan mereka bukan cek kosong.

Mereka akan selalu menjadi penagih janji sehingga pejabat publik terpilih (caleg maupun presiden-wapres) dibuat tidak bisa lelap dalam tidur sebelum menunaikan janji-janjinya. Saat itulah demokrasi menjadi produktif dan bermakna bagi proses perubahan.

Seluruh pihak harus memberikan perhatian serius terhadap pemilih. Penyelenggara pemilu harus menjamin seluruh warga negara yang berhak memilih agar terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab. Penyelenggara juga harus bekerja keras untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi pemilih yang sadar dengan pilihannya dan secara sistematis mengawasi dan mengevaluasi pilihannya usai pemilu.[5]

Ciri Pemilu yang Demokratis
Hak pilih umum,  pemilu disebut demokratis manakala semua warga negara dewasa menikmati hak pilih pasif dan aktif. Hak pilih pasif, yaitu hak warga negara untuk dapat dipilih menjadi wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat.  Hak pilih aktif, yaitu hak setiap warga negara untuk dapat memilih atau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk memilih wakilnya yang akan mewakilinya di lembaga perwakilan rakyat.
Kesetaraan bobot suara, suara tiap-tiap pemilih diberi bobot yang sama, artinya tidak boleh ada sekelompok warga negara, apa pun kedudukan, sejarah kehidupan, dan jasa-jasanya, yang memperoleh lebih banyak wakil dari warga lainnya.  Contoh bila harga sebuah kursi parlemen adalah 420.000 suara, maka harus ada jaminan bahwa tak ada sekelompok warga negara pun yang kurang dari kuota tersebut mendapatkan satu atau bahkan lebih di parlemen.

Tersedianya pilihan yang signifikan, para pemilih harus dihadapkan pada pilihan-pilihan atau calon-calon wakil rakyat atau partai politik yang berkualitas.
Kebebasan nominasi, Pilihan-pilihan itu harus datang dari rakyat sendiri melalui organisasi atau partai politik yang telah diseleksi untuk memdapatkan calon yang mereka pandang mampu menerjemahkan kebijakan organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Persamaan hak kampanye, melalui kampanye mereka memperkenalkan program kerja kepada rakyat pemilih, pemecahan masalah yang ditawarkan, serta program kesejahteraan, dan lain-lain.
Kebebasan dalam memberikan suara, para pemilih dapat menentukan pilihannya secara bebas, mandiri, sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan hati nuraninya.
Kejujuran dalam penghitungan suara, kecurangan dalam penghitungan suara akan menggagalkan upaya menjelmakan rakyat ke dalam badan perwakilan rakyat.  Pemantau independen dapat menopang perwujudan kejujuran dalam penghitungan suara.
Penyelenggaraan secara periodik, pemilu tidak boleh dimajukan atau diundurkan sekehendak hati penguasa.  Pemilu tidak boleh digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.  Tapi pemilu digunakan untuk sarana penggantian kekuasaan secara damai dan terlembaga.[6]

KESIMPULAN
Pemilu yang  hakekatnya ialah pesta demokrasi rakyat memang benar benar dimiliki oleh rakyat dan sama sekali tidak dikendalikan oleh para politisi  untuk memperoleh keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Rakayat pada saatnya akan mampu menentukan pilihan mereka sesuai dengan keyakinan mereka bahwa para calon yang menawarkan program kepada masyarakat dapat dilihat dari tingkat keseriusan mereka dan juga rekam jejak mereka  dalam masyarakat. Kalau hal ini dapat berjalan dengan mulus, maka  para calon angota legislatif yang terpilih pun memang dikehendaki oleh rakyat, dan bukan disebabkan karena  banyaknya modal calon yang dapat mempengaruhi pilihan rakyat.
Pemilu damai, demokratis dan berkualitas, itulah kata kunci yang harus terus kita perjuangkan. Partai politik peserta pemilu juga dihimbau  untuk serius dalam hal pengawasan pemilu, bukan saja saat pelaksaan coblosan, melainkan juga termasuk mengawasi perjalanan selanjutnya hingga rekapitulasi akhir di KPU pusat. Dengan begitu langkah dan niat pihak yang akan memalsukan hasil pemilu akan tidak dapat direalisasikan dan pada saatnya pemilu kita relatif lebih berkualitas dan dapat dipertanggung jawabkan.










DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Paul Budi Kleden, Bukan Doping Politik. Yogyakarta: Ledalero, 2013.

INTERNET
Admin, Merindukan Pemilu Damai (Online),  (http://muhibbin-noor.walisongo.ac.id/?op=informasi&sub=2&mode=detail&id=1333&page=1), diakses 09 April 2014.

Suara Politikus Pemilih Pemilu Demokratis (Online), (http://nasional.sindonews.com/read/2013/11/26/17/810276/pemilih-pemilu-demokratis), diakses 10 April 2014.


Austin Ranney, Ciri Pemilu yang Demokratis (Online), (http://societykamaru.blogspot.com/2013/05/ciri-pemilu-yang-demokratis-menurut.html), diakses 10 April 2014.













       [1] Admin, Merindukan Pemilu Damai (Online),  (http://muhibbinnoor.walisongo.ac.id/?op=informasi&sub=2&mode=detail&id=1333&page=1), diakses 09 April 2014.
       [2] Paul Budi Kleden, Bukan Doping Politik. Catatan Tentang Pemilu, (Yogyakarta: Ledalero, 2013), p. ix.
       [3] Ibid., hlm. X.
       [4] Ibid., hlm. 95-104.
       [5] Suara Politikus Pemilih Pemilu Demokratis (Online), (http://nasional.sindonews.com/read/2013/11/26/17/810276/pemilih-pemilu-demokratis), diakses 10 April 2014.
       [6] Austin Ranney, Ciri Pemilu yang Demokratis (Online), (http://societykamaru.blogspot.com/2013/05/ciri-pemilu-yang-demokratis-menurut.html), diakses 10 April 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar